Hari libur ini, Ayah mengajakku ke pasar Atom, tempat para penjahit menawarkan jasanya dan termasuk tempat kerja Ayahku juga di sana. Kami hanya berjalan kaki menuju pasar sekalian mampir di lapak penjual jaket dan topi, lagi pula kami tidak punya kendaraan baik itu sepeda atau motor maupun mobil. Jalan kaki lebih hemat dan menyehatkan.
"Jaketnya suka warna apa?" Tanya Ayahku, sambil terus berjalan kaki.
"Warna hitam, Bah." Ujarku, menjawab sesingkat mungkin karena mengos-ngos sambil jalan mengimbangi langkah Ayah yang cepat, Ayah sudah terbiasa berjalan setiap hari ke tokonya, pulang pergi. Ayah paling suka olahraga berjalan kaki setiap pagi keliling Kotabaru.
"Jaket Tarakan tidak apa-apa kan?"
"Tidak apa-apa, boleh sekalian topinya juga, Bah?"
"Boleh, tapi topi Tarakan juga." Kata Ayahku mengiyakan, penyebutan Tarakan, biasanya barang yang dijual adalah barang bekas yang masih bagus, bermerek, murah dan dikirim dari Kota Tarakan, Kalimantan Utara.
"Logo sudah Adi siapkan?" Tanya Ayah.
"Sudah, Bah."
"Kebetulan akhir-akhir ini, pesanan jahitan berkurang, jadi bisa membuat jahitan dari design Adi, sekalian Adi bisa lihat-lihat tempat kerja Abah, belum pernah kan?" Kata Ayah.
“Belum, ini pertama kali diajak ke Pasar Atom, Bah.” Ucapku.
Setelah itu di perjalanan kami sama-sama tidak bicara, jalan Ayahku terlalu cepat. Beberapa kali aku berlari kecil agar tetap sejajar dengan Ayah. Perjalanan kami lewat ‘Gang 234’ yang seluruh jalannya hanya cor-coran semen selebar 1 meter hingga di persimpangan ujung jalan ‘Gang Sekata’ yang seluruh jalannya hanya jembatan panjang terbuat dari kayu.
Kalau berjalan di ‘Gang Sekata’ perlu hati-hati, mata tidak boleh tertutup, karena keseluruhan jalan terbuat dari kayu, ada beberapa bagian yang sudah patah, berlubang. Sedangkan perumahan di sini berada di atas rawa. Mayoritas perumahan yang ada di Kotabaru berada di atas rawa, di mana bangunannya berbentuk rumah panggung dengan tiang kolong rumah yang tinggi, setiap petang air laut pasti pasang hingga di bawah perumahan ‘Gang Sekata’ ini.
Tanpa bicara, kami terus berjalan hingga ke ujung jalan jembatan ini, depan Masjid Raya Khusnul Khotimah, masjid terbesar di Kotabaru. Rata-rata penduduk di sini beragama Islam, namun tidak sedikit yang beragama Kristen. Kotaku kehidupan toleransi beragama di sini sangat rukun dan saling mendukung.
"Yuk kita menyeberang." Ajak Ayah, sambil memegang lengan tanganku untuk dituntun menyeberang jalan.
Kuikuti langkah Ayah, sangat terasa genggaman jemari ayah di lengan bawahku, terasa hangat dan penuh perhatian. Sebelumnya Ayah tidak pernah memegang tanganku seerat ini, diriku merasa aman dan nyaman saat menyeberang jalan. Kulirik tangannya, sudah banyak terlihat keriput dan urat–urat bermunculan dikulit tangannya. Aku ingin sekali memeluknya, bukan karena aku dibelikan jaket dan topi, sehingga perasaanku menjadi sentimental begini. Tetapi memang karena ini moment yang sangat berharga bersama dengan Ayah. Seumur hidupku baru pertama kali bisa berjalan berpegangan tangan bersama Ayah.
Tepat di samping pagar Masjid Khusnul Khotimah, banyak pedagang-pedagang musiman membuka lapak-lapak baju dan celana. Biasanya hanya beberapa hari saja mereka menggelar dagangan mereka. Terutama baju-baju bekas Import, biasanya berasal dari negeri Malaysia, karena Tarakan berdekatan dengan negara Malaysia dan Brunei.
"Adi, tinggal kau pilih jaket-jaket yang bergantung disitu, kalau tidak ada yang cocok, kita pindah ke lapak di sebelahnya, kan masih ada 5 lapak lagi."
"Iya, Bah".
"Mungkin kau bisa lihat dari kejauhan dulu, dilihat dari sisi warnanya saja dulu". Usul Ayah.
"Sepertinya di sana itu ada terlihat warna hitam." Kataku sambil mengarahkan jari telunjuk pada lapak nomor 3, bahkan hanya terlihat satu-satunya.
Terlihat label harga tulisan tangan dikelompok gantungan itu, harganya hanya 7 ribu rupiah saja. Lumayan murah. Tapi apakah uang Ayahku cukup.
"Bah, sepertinya agak kepanjangan tangannya, yang lainnya sudah pas."
"kalau kebesaran atau kepanjangan, itu bukan sebuah masalah." Kata seorang Penjahit, yaitu Ayah. Hatiku sangat senang tiada tara, senyum bibirku kukulum, andai boleh bersuara keras, aku akan berteriak dan tertawa sekencang-kencangnya, seperti tawa kerajaan (seperti apa itu?).
"Jaket ini Boleh, Bah." Mataku masih melirik 2 lapak yang ada di sebelahnya, karena di sana ada jual topi berwarna hitam, incaranku berikutnya.
Sepertinya langsung cocok nih, bagian depan topi itu tidak ada gambarnya, hanya tulisan huruf O, benangnya bisa dilepas dan diganti dengan simbol kesukaanku. Harganya juga lumayan murah, hanya 1400 rupiah (pembaca, ini harga tahun 1989 lo).
Aku sangat senang sekali, setelah Ayah menyelesaikan transaksi dengan penjualnya, lalu dibungkus yang rapi, seperti barang baru walaupun ini hanya barang second hand, akad jual beli sudah terjadi berarti secara syah barang itu menjadi milikku. Di sepanjang jalan kumemeluk bungkusan plastik ini dan melebarkan senyuman tanpa henti. Rasa lelah berjalan kaki lenyap begitu saja. Hadiah yang sangat berharga dari Ayah.
***
Setibanya di Pasar Atom, ruang kerja Ayah berada di bagian ujung dari Komplek barak toko kecil, semuanya dihuni oleh para penjahit-penjahit di Kotabaru. Iya, ruangan Ayahku sangat kecil di sini.
"Di, kau tunggu di sini ya, Abah buka toko dulu, sekalian membersihkan ruang lantai toko". Kata Ayah, sambil dia merogoh kunci yang ada di saku celananya.
Pertama membuka pintu masuk lalu dilanjutkan membuka jendela yang terbuat dari kayu tanpa kaca. Walaupun kecil hanya berukuran 2x2 meter, tetapi lokasinya masih strategis, berada di ujung barak dan berada di persimpangan jalan jembatan kayu ‘Gang Selamat’.
Di Komplek ini berdiri di atas area rawa yang berair, pasang surut laut akan berimbas juga di sini. Namun jangan kuatir, ketinggian air laut tidak pernah melebihi dari lantai Komplek perumahan di sini, mungkin di zaman sebelumnya sudah diukur oleh penduduk perintis di lokasi ini.
"Adi, masuk sini." Panggil Ayah, membuyarkan analisaku.
"Baik, Bah." Kulangkahkan kakiku masuk ke Toko Ayah. Ini pijakan pertama kali diriku masuk di tempat kerja jasa menjahit pakaian milik Ayah.
"Uiiii Abah Udin?" Teriak Ayah sambil menggedor-gedor dinding di sampingnya, berharap penghuni toko di sebelahnya menyahut.
"Ada apa Mid?" Ternyata di sini Ayah dipanggil Mid, karena nama Ayah adalah Hamid.
"Ini Adi, anak bungsu." Ayah memperkenalkan diriku ke penjahit tetangga.