Terlihat dari luar jendela kelas SMP Negeri 5 Kotabaru, angin bertiup disela-sela dedaunan. Tidak semua daun kuat menahan tangkainya bertahan dari tiupan angin itu. Beberapa daun yang berusia lanjut berjatuhan ke tanah, usia telah melemahkan mereka untuk bertahan pada batang pohon penyangga hidupnya. Banyak yang sudah waktunya harus mencium bau tanah, bergelimpangan dan berserakan didampingi oleh rumput-rumput liar yang menghiasi taman sekolah. Semua daun akan mengalami kejadian yang sama dengan pendahulunya, dari tunas kecil lalu menjadi daun dewasa, setelah itu berguguran setelah menjalani waktu bersama batangnya.
Pandanganku kualihkan ke depan kelas, Ibu Guru Diah sedang menjelaskan Rumus Persamaan Matematika. Sejak awal, aku sangat menyukai pelajaran yang satu ini. Bagiku matematika adalah seperti masakan ‘Cah Kangkung’ kesukaanku. Apalagi kalau Cah Kangkung banyak kuahnya dan dengan lauk ikan Bawal goreng, terasa merdeka lidah ini.
Tetapi kenapa kali ini nafsuku drastis turun untuk mengikuti pelajaran hari ini. Matematika hari ini seperti nasi mentah yang hanya dengan lauk kerupuk ikan. Otakku terasa buntu, kegelisahan karena tatapan mata seorang gadis sekelas yang duduk di barisan sejajar dengan kursi tempat dudukku yang paling ujung.
Rusmi adalah teman sekelasku yang selalu mengikutiku dalam minggu-minggu terakhir ini. Di setiap jam istirahat, dia pasti menguntit di belakangku. Ke warung, ke belakang sekolah, ke taman sekolah atau bahkan sampai ke depan pintu toilet. Kutahu, maksud dan tujuan dia adalah bercanda.
Rusmi orangnya manis, periang dan lincah. Bukan berarti diriku tidak normal menghadapi cewek seperti dia. Tetapi setiap kali dia mengikutiku, teman-teman yang lain, bersorak meneriaki kami. Aku sangat malu, dia memang sengaja membuat diriku dipermalukan oleh mata setiap orang yang memandang. Permasalahannya yang terjadi pada diriku juga adalah setiap kali dia menguntit di belakangku, aku hanya bisa melarikan diri dari dia. Semua orang menertawakanku, aku bingung menaruh rasa maluku di hadapan teman-teman.
Teng teng ... teng teng....
Lonceng sekolah berbunyi, tanda jam istirahat kedua dimulai. Jantungku mulai berdetak lagi, Diriku pasti dipermalukan hari ini. Aku merasa diawasi oleh mata lentik itu. Ke mana lagi aku harus bersembunyi? Apakah diriku ditakdirkan sebagai lelaki yang takut wanita?
"Hai Adi, kita jalan-jalan keluar yuk?" Sapa Rusmi. Aku hanya diam gemetar, lututku terasa bergetar, jantungku berdegup seperti ketipung dangdut, teman-teman mulai menertawakanku.
"Ayo Di, sikaaattt..." Sorak teman-temanku.
Rusmi memeluk lengan kiriku dengan erat, aku meronta minta dilepaskan, pelukan semakin erat, kepalaku semakin tidak karuan, berasap. Apa yang harus kuperbuat dengan pegangan tangannya?
"Jangan dilepaskan, Rusmi!" Teriak teman-temanku, mengompori Rusmi
Saat pegangannya mulai mengendur, kutarik lenganku, langsung kulari ke luar ruangan kelas. Menabrak pintu kelas, menyenggol tubuh Enjoy, tertendang bak sampah plastik hingga sampahnya berhamburan dan berserakan. Sambil berlari kulihat ke belakang, Rusmi masih mengejarku. Dalam hal ini, Goceng tidak dapat kuandalkan untuk menangani urusan cewek. Dia juga pasti menertawaiku, otot dan tatonya bukan mengusir cewek.
"Mati sudah aku." Aku bersungut dalam hati.
Kubersembunyi di belakang gudang dengan nafas tersengal- sengal. Aku terduduk dengan memeluk lututku. Seharusnya aku latihan cara menangani wanita yang agresif seperti dia, tanpa harus cape-cape ria menghindar dari kejaran teman wanita. Teman cewek sekelasku yang lain tidak seagresif Rusmi, jadi aku bisa menyeimbangkan sikap dan mengatur kata-kata, walaupun perkataanku tidak selincah teman cowok yang lainnya.
Jariku mencabut rumput di sekitar tempat dudukku, tanpa sadar rumputnya kugigit dan kukunyah, tidak terasa pahitnya, sebelum ku telan, kulihat potongan rumput masih di tanganku dan baru kusadari. Langsung kuludahkan kunyahan rumput di mulutku. Aku kan bukan Arba yang suka makan rumput. Cuh cuh cuh.. kuludahkan kunyahan rumput dimulutku.
"Eh ternyata kau duduk di sini." Rusmi telah menemukanku, kepalanya melongok dari sudut dinding gudang sekolah. Kembali kulanjutkan pelarianku berputar menuju bagian depan gudang.
"Rusmi, mana mau Adi sama kau, dia kan sudah punya pacar di dekat rumahnya, tetangganya idolanya" Teriak Aden yang duduk di kursi panjang bersama sama Siraju, Arba dan Mani.
Rusmi seperti tidak mendengar perkataan Aden, terus saja dia mengejarku memutari bangunan gudang ini. Sudah tiga kali putaran. Teman-teman yang lain menonton bertepuk tangan kegirangan, seperti tontonan perlombaan lari memutari gudang sekolah. Rasa maluku sudah sampai ke ubun-ubun. Bagaimana aku mengakhiri ini semua?
Pengait celanaku sudah patah dan tidak bisa lagi dikaitkan, kalau tidak kupegang, maka resleting tertarik ke bawa dan celana pendekku pasti melorot. Ini sudah putaran ke empat aku berlari, kali ini sambil memegang celana.
"Kejar terus Rusmi, sikaatt bleh". Para penonton terus mengompori dan memberi semangat Rusmi.
Kali ini, kuperkencang langkah lariku, pas disudut tikungan gudang, tanpa kutahu bahwa Rusmi berbalik arah dengan maksud memblok arah lariku.
Tubuhku bertabrakan dengan tubuhnya dengan sangat keras. Keseimbangan kami telah lenyap, peristiwa tabrakan itu menyebabkan Rusmi terdorong ke belakang, berputar-putar seperti tabrakan mobil, dia tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, lalu jatuh tersungkur di atas pohon bonsai yang dibentuk segi empat sebesar meja kelas. Dia tidak bergerak tapi masih bernafas kelelahan. Sedangkan tubuhku menghantam dinding gudang dan tersandar dalam posisi tetap berdiri, namun tidak separah yang dialami oleh Rusmi.
Beberapa detik kemudian, dia berusaha untuk berdiri, bajunya kotor oleh gesekan tanah, rambutnya dipenuhi daun-daun bonsai. Dagu kirinya tergores merah, kancing baju di bagian bawah ada yang terlepas dan dia berusaha untuk menyembunyikannya dengan telapak tangan. Aku hanya berdiri mematung bersandar tembok, tidak berusaha untuk menolongnya. Aku hanya kaget tidak bergerak, bingung harus berbuat apa, tetapi tetap memegang celana bagian depanku.
Ada air menetes dan bergulir di kedua pipinya, rasa kecewa membuat dia menangis, mungkin baru pertama kali ini dia diperlakukan seperti itu. Rusmi lari meninggalkanku yang mematung dan masih memegang celana.
Rusmi terus berlari, tangan kirinya memegang baju dan tangan kanannya mengusap air mata, terus menjauh, hingga tubuhnya hilang dari pandanganku, tersembunyi oleh dinding sekolah.
Setelah suasana telah dikuasai, kuambil potongan tali rafia plastik berwarna merah di ranting bonsai tempat Rusmi terjatuh tadi. Kurapikan tali itu, aku belah dua tali rafia itu dan kusambung, agar cukup seukuran sabuk celana. Lalu kuikati celanaku dari lubang pengait sabuk dari ujung kiri melingkar ke ujung kanan, agar celanaku tidak jatuh melorot, lalu kukeluarkan baju dari celana pendek untuk menutupi ikatan tali rapia plastik tadi.