Langit Kotabaru terlihat cerah, awan beriringan seperti mengejar kita, penglihatan gerak maya di atas sana adalah aktivitas alam yang setiap saat terjadi. Burung-burung walet menjelajah langit, bergembira dengan gerakan yang gesit dan tidak pernah menabrak temannya, walet-walet itu bernyanyi dengan mengepakkan sayap panjangnya sekitar 25 cm, sayap walet terbangnya juga lebih kuat meliuk-liuk di atas rumah dan pepohonan.
Dengan memiliki sayap yang kuat dan tubuh yang ringan burung walet mampu menempuh jarak yang jauh dari ujung Pulau Laut hingga ke Pulau tak berpenghuni. kecepatan terbang burung walet putih berkisar antara 100 km/ jam sampai 150 km/ jam. Dalam sehari burung walet itu mampu untuk terbang tanpa berhenti sama sekali. Selain itu, ketika mencari makan, burung ini selalu bersama-sama dalam kelompoknya.
Pada senja hari atau kadang-kadang sampai malam barulah burung ini pulang ke sarangnya. Saat mencari makan biasanya jarang berputar-putar di tempat yang rendah tetapi di lokasi lebih tinggi. Orang sering memanfaatkan sifat walet ini untuk mengumpulkan sarang burung walet, harganya lumayan mahal. Banyak yang membutuhkan sarang wallet untuk obat-obatan bahkan untuk barang export ke luar negeri.
Eh malah membahas topik wallet, kembali ke ceritaku. Hari ini sudah dimulai masa tunggu setelah beberapa hari kemarin kita bertempur dengan soal-soal ujian EBTANAS, pada masa-masa tunggu ini, sekolah sering mengadakan aktivitas perlombaan internal olahraga. Tetapi tidak sedikit juga mempunyai kegiatan di luar sekolah. Sore hari ini pun aku ada temu janji dengan teman-teman cowok untuk berfoto bersama-sama di Happy Studio, yang lokasinya di jalan Singabana dekat pasar. Photo cetak Fujifilm.
Sambil menunggu waktu sore hari, pagi menjelang siang aku hanya bersantai-santai di depan rumah, duduk di kursi bambu panjang. Meresapi angin pegunungan yang sejuk, suara gesekan dedaunan sepeti lantunan musik alam yang mendamaikan jiwa. Kulihat di samping pintu masuk, ada gulungan plastik yang biasa digunakan ibuku membungkus beras untuk membuat lontong bahan dasar gado-gado.
Dengan isengnya kuikati ujung plastik panjang itu, lalu kutiup sekuat-kuatnya hingga membentuk balon panjang transparan, panjang balon itu sekitar 1,5 meter setelah ditiup kencang, kuikati lagi ujung yang lain agar balon itu tetap kencang. Balon itu kulempar-lempar ke atas seperti bola, kubermain-main dengan balon plastik bungkus lontong.
Kucoba lempar dari pintu dapur hingga pintu depan rumah seperti main pesawat, kubermain sendiri untuk menghilangkan kebosanan dan mengisi waktu luangku. Kupasang gelas plastik di depan pintu masuk, balon plastik yang panjang kulempar mulai dari pintu dapur, membidik gelas plastik yang berdiri di tengah-tengah pintu masuk. Kulempar dengan kuat balon panjang ini, yang kuanggap sebagai pesawat. Kubidik dengan mata dipejamkan satu, kuarahkan ujung plastik, kulempar dengan kuat balon itu, kali ini meleset.
"Sekali lagi, tembakanku akan kena botol itu." Kataku bicara sendiri.
"Hanya butuh kesabaran dan focus." Aku asyik dengan permainanku sendiri.
"Kali ini aku harus konsentrasi dan menahan nafas yang kuat." Kataku menasihati diri sendiri.
Kumundur ke belakang hingga berdiri di depan pintu dapur. Kubidik dengan satu mata, meluruskan ujung plastik ke arah gelas itu. menarik nafas panjang dan menahannya. Kulempar sekuat-kuatnya dengan harapan balon yang panjang itu meluncur lurus membelah udara yang dilewatinya. Tapi sayangnya, kekuatan angin lebih besar menahan terbangnya balon panjang itu. Berbelok ke kanan mengarah tikungan ke ruang tamu dan menabrak sesuatu yang tajam.
"Boooommm...." Balon itu meletus dengan mengeluarkan bunyi yang keras.
"Apa itu Di?" Ibuku juga terkejut.
Di dapur Ibu mendengar ledakan balon plastik yang kulempar. Aku berlari mencari pecahan balon itu. Di bawah jendela kaca nako, plastik itu tergeletak dengan sobekan yang panjang dari ujung ikatan ke ujung ikatan yang lain. Aku kaget dan mulai merasa takut menjelaskannya ke Ibu. Kupungut dengan rasa was-was, dalam hatiku bahwa bagaimana cara mengatakan hal ini ke Ibu.
"Apa yang kau lakukan Di". Kata Ibu yang sudah berdiri di belakangku.
"Maaf Ma, plastik lontongnya pecah." Kataku merasa bersalah. Tetapi ibu tidak mendengarkan permintaan maafku, dia kelihatan sangat marah.
"Kau ini, plastik itu untuk membungkus lontong, jualan gado-gado malam ini. Kalau itu pecah, tentu saja Ema tidak bisa jualan malam ini, Ema sudah tidak punya uang lagi untuk beli plastik itu." Ibu sangat marah sekali kepadaku. Telapak tanganku dia raih, dia pukul dengan telapak tangannya juga beberapa kali.
"Adi tidak sengaja, pas Adi lempar ditiup angin terus meledak, Ma." Kataku berusaha menjelaskan, sambil kupejamkan mata merasakan pukulan telapak tangan Ibu beberapa kali.
"Setiap malam Ibu jualan, semua hasil jualan hanya pas-pasan untuk membeli bahan-bahan jualan untuk malam berikutnya. Semua keuntungan hanya sisa gado-gado yang kita makan sekeluarga. Sekarang kau malah merusak plastik lontong dan merobeknya hingga tidak sedikit pun bisa digunakan." Ibu terus mengomel panjang dengan intonasi tinggi.
"Maafkan Adi, Ma". Hanya kata-kata itu yang bisa kusampaikan, tidak bisa menghentikan amarah Ibu. Kulit wajahku merah dan mataku lembap, bukan karena rasa sakit di telapak tanganku, tetapi sakit hati mendengarkan omelan Ibu.
"Ini pelajaran buat kau, agar tidak membuang-buang uang, hidup kita itu miskin, rumah ini pun hanya dipinjamkan Pamanmu ke kita, penghasilan Ayah kau tidak seberapa, kecuali mendekati lebaran." Ibuku terus menyalahkanku tanpa henti.
"Kenapa semua itu Adi yang disalahkan?" Teriakku, aku pun meninggalkan Ibu, lari ke arah kamarku di plafon. Saat itu aku sangat marah sama Ibu, tidak seharusnya Ibu memukul tanganku seperti itu, aku sakit hati dengan perlakuan Ibu. Aku pun merajuk kepada Ibu. Telapak tanganku tidak sakit, tapi hatiku yang perih.
Berjam-jam aku mengurung diri kamarku. Sakit hatiku masih bergemuruh didadaku. Keringatku membasahi badanku, diriku bermandikan peluh, kamar di plafon ini sangat panas jika matahari sudah berada dipuncaknya. Kamar ini memang tidak cocok untuk berdiam diri pada siang hari bolong.
Dilubang lantai pintu kamar di plafon, terlihat gerakan sepiring nasi ditambah lauk dan segelas air minum disisi lubang pintu kamarku, tidak terlihat wajah yang mengantarkan makan siangku. Hening sesaat tak bersuara, lalu muncul lagi tangan menggeser piring dan gelas agak ke tengah, hanya tangannya saja yang kelihatan tanpa wajah dan tanpa berkata sepatah pun. Tapi aku tahu pemilik tangan itu, itu tangan milik Ibu.
Aku hanya diam, tidak menyentuh piring dan gelas yang ada dilantai itu. Hatiku masih sakit, aku masih kecewa dan masih mengambek tentunya. Perutku berbunyi, telapak tanganku mengusap-usap perutku yang lapar. Kulirikkan mataku ke piring itu, aku masih gengsi memakan makan siang itu. Namun aku tidak bisa membujuk mataku untuk tidak melirik makanan itu, perutku pun tidak bisa di ajak kerja sama.
Pantatku yang menempel dilantai kamar menghadap meja belajar kugeser-geser sedikit demi sedikit, mendekati posisi piring. Jengkal demi jengkal kugeser dudukku yang bersila, pelan-pelan agar tidak terdengar. Setelah dekat dan terjangkau, kujenguk ke bawah melalui pintu lubang kamar, tidak ada siapa-siapa di sana.
Karena laparku rasa gengsiku hilang, langsung kusantap makan siang itu. Saat mengangkat gelas air minum, gelas yang kupegang menyentuh piring, dua benda kaca bertabrakan menimbulkan bunyi keras yang khas. Aku agak terkejut dan kupejamkan mataku, takut bunyi itu diketahui oleh Ibu kalau aku sudah melahap habis makanan yang dia hidangkan.
***
Menjelang sore, pakaianku telah rapi dengan setelan jaket andalan. Aku, Enjoy, Arba dan Aden berangkat bersama-sama, karena rumah kami berdekatan bahkan sekampung. Kami berjalan kaki dari Kampung Peramuan ini ke lokasi Studio Happy Photo. Di lokasi itu kami temu janji bertemu dengan teman cowok sekelas yang lainnya.
Aku keluar rumah tanpa pamit dengan Ibu, masih ada sedikit tersisa rasa kecewa. Kata orang sih, jangan mengambek terlalu lama ke Ibu sendiri, nanti kualat. Saat itu aku tidak memedulikannya, terpenting hari ini aku menjalankan janji temu dengan teman-teman.
"Kau pakai jaket kebanggaan, Di?" tanya Arba.
"Iyalah, ini jaket dan topi andalan." Dengan bangganya kujelaskan, sambil kuangkat kerah jaketnya, kusembunyikan informasi tentang beli barang second hand atau jaket bekas.
"Apa artinya simbol itu?" Tanya Aden yang biasanya diam.
"Tut Wuri Handayani, belajarlah bersungguh-sungguh." Tebak Enjoy seraya tertawa.
"Hampir betul, tapi sedikit ada tambahan dan pengurangan, jadi biar kusebut saja nama simbol ini adalah Tutwuri-Man, Telepator dari belakang hahaha." Kataku bercanda tapi jawaban serius.