Zaman Sekarang – Kotabaru
Aku berdiri mematung di sebuah ruangan, seperti kamar tamu dalam sebuah Rumah beton yang mewah. Di hadapanku kursi tamu bercorak batik dengan ukuran kayu coklat. Tirai korden warna krim menutupi kaca-kaca jendela rumah ini, dengan dinding berwarna putih dan perpaduan coklat muda di setiap sudutnya.
Terpampang 2 bingkai photo besar yang bergantung di atas kursi panjang, mengapit kiasan kaca hitam. Photo yang ada sebelah kiri, sangat buram adalah lelaki berumur menggendong balita perempuan kecil sedangkan photo di sebelahnya adalah seorang wanita berumur juga yang sedang menggendong balita laki-laki yang sedang menunjuk ke atas. Apakah itu photo diriku dan keluargaku sendiri? Tidak begitu mirip dengan wajahku, sepertinya ini rumah orang yang ditinggalkan penghuninya.
Hawa ruangan ini sangat lembap berdebu dan sedikit udara yang masuk. Sepertinya sudah lama tidak ditinggali oleh penghuninya. Ada sebuah tangga di depan pintu utama yang mengarah ke lantai dua. Di antara ujung tangga bawah dan pintu utama yang terkunci, ada pintu kamar yang bertirai tipis.
Kubuka dengan pelan, kamar ini besar yang di dalamnya ada tempat tidur yang terbuat dari besi hitam, kasurnya tanpa kain penutup dengan bantal dan guling tersusun rapi. Lemari buffet berdebu berdiri di seberangnya. Di atas dinding pojokkan plafon gypsum, ada benda mengantung berwarna putih bertuliskan Panasonic, benda apa itu?
Kulangkahkan kakiku ke luar kamar, aku menuju ruangan dengan lantai dilapisi karpet berbulu, diujung ruangan ada lemari penuh dengan boneka-boneka besar dan kecil, boneka satu lemari penuh, orang tua ini sangat menyayangi putrinya pikirku. Di samping lemari boneka, ada benda hitam tipis, sepertinya ini sebuah TV layar tipis sangat berbeda TV diduniaku yang berbentuk tabung besar.
Berseberangan dengan meja TV itu, ada kamar yang dipisahkan oleh dinding kaca dengan tempat tidur kecil, di sana ada poster besar 2 orang anak, sepasang putra dan putri. Di atas poster itu juga ada benda putih bertuliskan Panasonic, aneh beberapa kamar di sini digantungi benda kecil kotak berwarna putih. Dinding di depan poster itu tertempel photo-photo bocah kecil berbagai macam-macam ukuran dan pose lucu.
Kemudian penyelidikan ku mengarah ke lantai 2 rumah ini. Aku naik ke atas melalui tangga di depan pintu utama, kunaik menapaki anak tangga yang tapaknya sangat tinggi dan aku harus berpegangan pagar yang berwarna metalik mengilat. Lebar tinggi anak tangga terasa berbeda, ada yang sangat lebar, ada yang lebih kecil sedikit, jadi agak kesulitan melangkah menuju lantai dua.
Sesampai dilantai 2, hawanya pengap dan sedikit oksigen. Ada 3 kamar di sini, di ruangan tengah disisi pagar tangga ada glider peralatan olahraga berwarna hitam, sedangkan di samping pintu keluar lantai ini ada lemari besar yang dipenuhi buku-buku bacaan dewasa dan buku agama. Lantai ini sangat kotor, beberapa bagian plafon gypsum pecah dan berjatuhan ke lantai, bahkan jendela kaca yang ada di sebelah kanan bangunan pecah berserakan.
Menurutku di rumah ini tidak ada satu pun yang menunjukkan bahwa pemilik rumah ini adalah bagian dari kehidupanku. Saat aku ingin kembali ke tangga menuju lantai satu. Mataku tertuju pada bingkai lukisan photo dengan ukuran besar yang dikelilingi oleh bingkai photo-photo kecil. Aku mengenali raut muka lukisan photo itu, itu adalah photo diriku saat masih Sekolah Dasar (‘SD’), photo itu pernah menghiasi buku Rapot nilai SD. Barulah aku yakin bahwa memang benar rumah yang besar ini adalah rumahku di kehidupan yang lain. Penghuni rumah ini adalah diriku dan keluargaku, tetapi di mana mereka sekarang?
Aku pun menuruni tangga untuk keluar dari rumah ini. Di pintu utama ada bergantung anak kunci yang sengaja ditinggalkan, mungkin penghuninya keluar melalui pintu belakang dan anak kuncinya disimpan. Kubuka pintu utama, kumelangkah keluar dan merapatkan kembali pintu itu dengan meninggalkan anak kunci di bagian dalam. Sebuah mobil putih parkir di samping rumah besar ini, plastik penutup mobil terbuka tertiup angin dan sebagian masih menutupi permukaan mobil ini.
Senang sekali aku melihat kehidupan masa depanku, tentunya diriku dan keluarga hidup bahagia dengan berteduh di rumah besar berlantai dua dan berlibur mengelilingi Pulau Laut dengan mobil pribadinya. Tetapi sayangnya rumah ini tidak dihuni begitu lama, apakah ada sesuatu yang terjadi terhadap mereka? Jika terjadi sesuatu atas diriku dimasa ini dalam status meninggal dunia, tentu diriku akan terjebak didunia yang tidak mengenal diriku.
Di depan pintu pagar yang berbentuk sayap burung terbuat dari aluminium berwarna metalik, kuingin membukanya, tetapi aku bingung bagaimana cara membukanya, gagang pintu pagar yang patah, kudorong tidak bisa, kutarik ke dalam juga tidak bisa, kulihat di bawahnya ada roda yang berkarat, oh ternyata cara membukanya harus digeser ke samping. Kugeser dengan sekuat tenaga, pintu terbuka dengan suara gesekan roda yang sangat keras.
Ada di mana lokasi rumah ini, rumah ini dibangun dipinggir jalan yang lumayan besar yang panjang, di ujung jalan sebelah kiri berlatar belakang sebuah gunung, kuingat gunung itu adalah ‘Gunung Sebatung’ atau “Gunung Bamega’, berarti jalan ke arah kanan pasti mengarah ke laut pemukiman suku Bajau yang disebut Rampa. Berarti lokasi rumah ini berada di Perumnas Desa Semayap.
Ada anak lelaki kecil keluar dari pintu pagar rumah sebelah, matanya memperhatikanku dan mencurigaiku, pintu pagar rumah ini belum sempat kurapatkan kembali, wajarlah anak kecil itu mencurigaiku masuk tanpa ijin.
"Maaa... Maaa..." Anak itu berteriak keras.
"Maaf, aku bukan pencuri". Ujar ku meminta anak itu untuk tidak berteriak keras.
"Maa.. Ada orang masuk di rumah Om Faldi". Teriaknya lagi.
"De, aku hanya... aku bukan...". Kataku panik melihat anak itu berteriak dan memanggil Ibunya ke dalam rumah.
Aku pun segera lari meninggalkan rumah itu. Lari dengan kencang berbelok ke kiri di persimpangan jalan, belokan jalan ada papan di atas tiang berwarna hijau yang bertuliskan Perumnas ‘Blok F’, kecepatan lariku tidak kukurangi saat berbelok ke kanan melalui jalan utama Perumnas ini. Lokasi jalan Perumnas ini berkotak-kotak di mana masing-masing jalan diberi tanda nama jalan tertulis 'Blok' berwarna putih dengan latar hijau.
Lariku sudah jauh hingga melewati Blok A dan menurutku sudah aman jika dikejar orang tua anak tadi. Aku berhenti sejenak, menundukkan badanku seperti orang ruku terengah-engah, nafasku kuatur. Aku berjalan kaki menyusuri trotoar jalan raya yang bernama Jalan ‘Brigjend H. Hasan Basri’, tidak seorang pun yang kukenal dari sekian banyak orang yang berpapasan denganku.
Aku sudah mulai mengenal lingkungan jalan ini, walaupun banyak bangunan baru bermunculan di sepanjang jalan ini. Bangunan berupa ruko bertingkat dan kantor pemerintahan bertaman indah. Ada kantor PLN, Bangunan Gedung Perpustakaan Daerah, Mesjid Miftahul Jannah yang direnovasi megah dominasi warna hijau dan bangunan besar lainnya. Ada beberapa bangunan lama yang masih berdiri yang sangat kukenal, seperti SMPN 1, Asrama Tentara, perumahan tambak dan Gereja.
Aku harus ke rumahku sendiri di Peramuan, rumahku didunia berbeda. Saat kumelintasi warung tempat Ibuku berjualan gado-gado, terlihat sudah tidak ada lagi, sudah diganti dengan toko-toko kecil seperti barak berjejer. Pastinya Ibuku tidak berjualan di sana lagi, aku pikir pasti punya warung sendiri untuk berjualan gado-gado.
Kumenyusuri tanjakan Peramuan di jalan ‘Demang Leman’, kemudian melewati Musala Miftahul Khair yang sudah direnovasi dengan warna kuning bercorak hijau. Pagar kuburan di samping Musala itu sudah berganti pagar baru yang tertutup rapat, tidak mungkin lagi anjing-anjing galak masuk ke dalam kuburan itu.
Sekarang aku berada di depan rumahku, atapnya sudah berganti dengan multiroof merah, pohon belimbing di depannya sudah sangat besar dan tidak ada kursi bambu di bawah pohon itu. Lantai halaman sudah di cor semen, halaman rumahku sudah kelihatan tersusun rapi.
Di depan pintu rumahku, kulihat masih ada benang plastik yang mengikat di gagang pintu melalui lubang kunci. Kutarik benang nilon kecil itu dan pintunya terbuka, ternyata cara bukanya masih seperti cara berpuluh-puluh tahun yang lalu. Hanya tali nilon plastik itu sudah berganti dengan ukuran nilon yang lebih kuat untuk ditarik.