Sekarang aku telah berada di kursi Bus Melati jurusan Kotabaru ke Banjarmasin. Aku duduk di kursi pinggir dekat kaca bus sebelah kiri pada barisan kedua dari belakang. Bus sedang menunggu penumpang dan parkir dipinggir jalan pasar ‘Blok 17’. Para penumpang mulai naik ke dalam bus, kursi di sebelahku masih kosong. Tidak ada tas atau barang yang kubawa selain jaket dan topi yang kukenakan, sepatuku masih sepatu sekolah dengan celana levis yang sedikit agak robek di bawah lutut.
Pikiranku masih kalut atas berita meninggalnya orang tuaku, kesedihanku masih meninju-ninju perasaanku, apakah diriku dimasa depan adalah orang yang berbakti kepada orang tua? Apakah diriku dimasa depan masih sempat menjaga orang tua dimasa tuanya?
Walaupun mukaku kubuat biasa saja dengan bibir gemetar menahan kesedihan, tetapi air mataku masih tunduk dengan gerak gravitasi ke bawah, meninggalkan jejak basah di sepanjang pipiku, aku berusaha mengusap air itu agar tidak diketahui oleh orang lain.
Lamunanku pecah dikepalaku ketika sopir telah menghidupkan mesinnya. Di sampingku sudah ada yang duduk, seorang gadis yang usianya lebih tua dariku, mengenakan kaos putih dan celana levis biru gelap, sepatu yang dia kenakan berwarna putih dan membawa tas selempang yang dia pangku. Karena tidak berkenalan, dia hanya diam, kedua telinganya disumpal dengan benda berkabel yang terhubung pada sebuah benda kotak pipih kecil.
Bus mulai bergerak menyusuri Jalan Pattimura menuju Tanjung Serdang, laju Bus masih pelan karena masih di tengah kota, menyusuri pasar Kotabaru yang sekarang sudah ada Mall Limbur Raya berdiri kokoh bertingkat tiga, di kiri kanan jalan sudah banyak bangunan toko bertingkat 3 dan 4. Di persimpangan pasar Limbur dan Jalan Singabana sudah terpasang rambu lampu lalu lintas. Sudah tidak ada lapak-lapak di emperan toko.
Di manakah lapak Pak Tua yang biasanya berjualan batu akik itu, apakah Beliau masih hidup saat ini. Kalaupun Beliau sudah meninggal, mungkin beliau sudah tidak tua lagi. Wajahnya akan muda segar yang dibalut dengan senyuman dimasa penantian di Kota Saranjana.
Aku masih ingat katanya ada batu akik Sarang Burung Garuda yang langka, tidak sembarang orang memilikinya, kuperhatikan cincin yang ada dijariku, kuperhatikan kilauannya. Ada yang mengganggu melintas di pikiranku tentang kata "Sarang Burung Garuda" yang kuhubungkan dengan kota yang baru kutinggalkan, yaitu Kota Saranjana.
Kalau kata Saranjana dipisahkan menjadi Saran dan Jana maka mempunyai arti Saran = Sarang, sedangkan Jana = Elang. Kalau tidak salah menurut buku pelajaran sekolah perbedaan antara Elang dan Garuda itu tidak berbeda jauh bahkan mempunyai rumpun keturunan yang sama. Jadi cincin yang kukenakan sekarang ini adalah Batu Akik Sarang Burung Garuda, yang menurut Pak Tua itu khasiatnya sangat luar biasa.
Aku pun tersenyum sendiri, kalau orang liat diriku seperti orang yang tidak waras, senyum sendiri sambil mengusap cincin yang kukenakan ini berasal dari Saranjana seperti yang diceritakan oleh Pak Tua itu. Memang kehidupan itu susah ditebak, selalu punya caranya sendiri dan punya rencana yang tidak bisa ditebak.
Dari Milyaran penduduk di muka bumi ini, hanya jari tengahku yang berhiaskan batu cincin Sarang Burung Garuda. Terima kasih Pak Tua, Abah Paul, engkau telah memberikan petunjuk ilmu pengetahuan terbaik dalam hidupku. Tetapi aku tidak merasakan khasiat yang diberikan oleh cincin ini, atau harga cincin ini yang sangat mahal dimata kolektor benda-benda aneh, siapa kolektor itu yang mau membeli cincin sarang burung garuda ini? Di Jakarta banyak kolektor batu yang membuat diriku kaya raya.
Dari kaca jendela Bus, kulihat pemandangan Mesjid Raya Khusnul Khotimah yang besar dan berwarna megah, sudah ada air mancur di tengahnya, di sampingnya ada taman bunga yang luas dan sangat indah, banyak pasangan muda-mudi duduk dibangku taman itu. Sebelumnya tempat itu adalah lapaknya pakaian Tarakan, tempat di mana aku dan Ayahku membeli jaket dan topi yang kukenakan ini. Tempat pertama kali aku bisa berjalan berdua dengan Ayah dan tanganku merasakan genggaman telapak tangannya.
Dengan uang yang pas-pasan, ayahku membelikan jaket bekas yang masih layak untuk dipakai. Jaket itu kami perbaiki bersama-sama dengan menambahkan simbol Tutwuri yang ayah jahit sendiri . Ayah telah memberikan senyuman terbaik kepada anaknya walaupun hanya sebuah jaket bekas. Kutengadahkan telapak tangan untuk mendoakan orang tuaku yang telah meninggal dunia:
"Ya Tuhanku, ampunilah aku dan Ibu dan Bapakku, sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku di waktu aku kecil. Ya Tuhanku, berikanlah ampunan atas dosa-dosaku dan dosa-dosa kedua orang tuaku, dan kasihanilah keduanya sebagaimana beliau berdua merawatku ketika aku masih kecil."
"Ya Tuhanku, haramkan wajah ibu dan ayahku dari sambaran api neraka. Karuniakan buatnya surga tanpa hisab. Ya Tuhanku, Terima kasih telah menitipkanku terhadap malaikatmu yang kusebut Ayah dan Ibu. Ya Tuhanku, aku tidak memiliki cukup waktu untuk membahagiakan kedua orang tuaku, satu pintaku bahagiakan mereka dengan kasih sayang-Mu disisi-Mu."
"Wahai Ayah dan Ibuku, kalian selalu tersenyum di balik kelelahan. Wahai Ayah, Wahai Ibu maafkan aku, sehingga kalian rela bangun malam ketika aku sakit. Dalam hidupku, aku sangat mencintai kalian, walaupun dalam kematianku aku akan tetap mencintaimu. Dalam hatiku, kalian memiliki tempat istimewa, tidak ada orang lain yang akan menggantikannya."
"Aamiin aamiin aamiin." Kuusap kedua telapak tangan ke wajahku. Kuresapi doaku hingga membelai rasaku yang terdalam.
Tiba-tiba kurasakan bus yang kutumpangi ini agak bergoyang, kutengok dari jendela kaca, bus mulai masuk ke kapal ferry di Pelabuhan Tanjung Serdang. Bus bergerak melakukan maneuver arah, dan masuk dengan cara mundur ke kapal penyeberangan. Ini hal yang pertama kali kurasakan ikut naik di atas kapal ferry, jadi kuperhatikan kiri dan kanan kaca untuk waspada jika terjadi benturan keras.
Akhirnya Bus parkir dengan aman di atas kapal penyeberangan. Hampir semua penumpang keluar dari dalam bus, aku pun mengikuti ke mana arah penumpang-penumpang itu. Mereka menaiki tangga kapal yang ada di samping badan kapal. Dalam hal ini, diriku seperti orang udik yang menaiki kapal besar yang ditumpangi kendaraan-kendaraan besar.
Di atas ini, kursi-kursi panjang berbaris tersusun rapi, ramai para penumpang duduk dan bersenda gurau diruang tunggu ini. Tidak ketinggalan, diriku pun duduk disalah satu kursi yang kosong, sambil memperhatikan aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang di atas kapal ini. Fasilitas yang kutahu disediakan di sana adalah warung makanan dan minuman, TV besar tipis untuk bernyanyi (baru kutahu itu namanya Karoeke), di sana ada juga ruang untuk Shalat dengan tulisan Musala, aku ingin ke tempat itu.
Setelah menjamak Shalat Dzuhur dan Ashar, kukembali duduk ruang tunggu penumpang di depan warung, aku sangat haus sekali, aku tidak punya uang lagi untuk belanja di warung itu. Kuperhatikan penjualnya dan tanpa sengaja mata kami bertabrakan saling memandang. Penjual itu mengangkat botol air dan kue ke arahku. Kutoleh ke kiri ke kanan dan ke belakang, dalam hatiku, mungkin untuk orang yang ada di sekitarku.
"Ini buat kau!" Kata penjual itu.