Zaman Sekarang – Kota Plaihari
Aku terkejut, bangun dari tidurku yang rasaku hanya sejenak. Bus berhenti di depan Warung Makan Melati Mekar di Plaihari, tempat makan para penumpang yang diarahkan oleh Sopir Bus ini. Semua penumpang turun menuju warung itu. Ada yang langsung pesan makanan, ada juga berjalan melalui jalan samping yang ada rambu tanda panah dengan tulisan "Toilet".
Aku tidak mau turun karena tidak ada uang se-persen pun untuk malam ini. Aku pasti bisa menahannya hingga tiba di Kota Banjarmasin. Walaupun aku belum punya rencana apa pun di sana, bagaimana cara melanjutkan perjalanan menuju Jakarta. Jika pun keadaan memaksa, mau tidak mau akan kujual cincin ini untuk melanjutkan perjalananku. Mungkin itu maksud Dhyzah dari pemberian cincin ini kepadaku, hati nuraniku berkata cincin boleh dijual.
Kutoleh pandanganku ke gadis yang tertidur di sebelahku ini. Kenapa dia tidak bangun dan makan seperti yang lainnya, atau mungkin dia tidak sadar kalau Bus ini sudah berhenti. Kuingin membangunkannya tetapi aku tidak berani mengganggu mimpi tidurnya, siapa tahu terkejut bangun akan membuat kumat gilanya. Namun aku merasa kasihan jika gadis ini belum makan dan terbangun saat bus sudah jalan. Telapak tanganku bertumpang tindih kiri dan kanan, tidak bisa bergerak di kursi pojok ini, pinggangku terasa letih. Ayo bangun, ajak aku makan, ajak diriku makan, aku kelaparan, kataku bercanda dalam hati sambil tersenyum.
Sebelum kucoba menyentuh pundak dan membangunkannya, tiba-tiba gadis itu menggeliat dan membuka kelopak matanya. Dia terdiam tegang untuk mengadaptasikan matanya, lalu memandang keluar jendela ke arah warung lalu memandangku kebingungan.
"Oh, maaf. Aku ketiduran, kau tidak bisa keluar ya?" Katanya.
"Tidak apa-apa, Kak." Ucapku.
"Yuk kita makan?" Ajak gadis itu.
"Tidak Kak, terima kasih, aku di dalam bus saja." Jawabku menolak secara halus. Andai kupunya uang, ku juga mau makan. Cukuplah malam ini aku berdamai dengan perut.
"Ayolah, aku yang traktir." Ucapnya, aku kebingungan, apakah nanti dia akan kumat.
"Tapi Kak.." Kataku mencoba berpikir mencari alasan yang lain.
Gadis itu menarik tanganku dan mengajakku keluar dari Bus, ternyata dia sangat ramah dan suka berteman dengan orang yang baru dikenal, kukira dia gadis yang gila dan tidak memedulikan orang di sekitarnya.
"Namaku Risna, siapa nama kau?" Dia bertanya setelah kaki kami menginjak ke permukaan tanah, turun dari pintu Bus.
"Namaku Adi, Kak". Jawabku dengan menyebutkan nama panggilanku.
"Adi mau makan apa? Biar kupesankan."
"Samakan dengan Kak Risna saja." Aku sudah berani menyebut namanya.
"Kakak akan pesan Sop Ayam dan Sate, Kau suka?" Katanya menyebut nama menu makanan.
"Iya Kak, Adi juga suka".
Risna berjalan menuju etalase kaca yang dipenuhi dengan lauk pauk dan kuah sayur, lalu dia memesan makanan kami, sambil jari tangannya menunjuk ke sana kemari ke arah etalase itu. Setelah itu dia pergi ke arah kasir di bagian tengah ruangan untuk melakukan transaksi. Ruangan makan ini seperti aula, luas dan dipenuhi dengan puluhan meja serta kursi makan. Banyak penikmat warung ini makan dengan lahap dengan mata memerah, merah karena baru bangun tidur.
"Adi tinggal di Kotabaru?" Tanya Kak Risna yang sudah duduk di hadapanku di seberang meja makan.
"Iya Kak, di Peramuan." Jawabku dengan singkat.
"Sekolahnya di mana?"
"Aku bersekolah di SMPN 5, Kelas 3, di tengah hutan, Kak Risna sekolah di mana?"
"Kakak sekolah di SMAN 1 Kotabaru juga, tinggal sama Nenek di Kotabaru, kalau orang tua tinggalnya di Banjarmasin."
"Oh jadi, kalau liburan Kak Risna pulang ke rumah orang tua ya?"
"Iya Di, orang tua kau tinggal di Kotabaru juga?"
"Orang Tua Adi sekarang sudah meninggal dunia, Mama dan Abah." Kataku dan tidak dapat menyembunyikan rasa sedihku, karena kabar itu juga baru kudapatkan pagi tadi.
"Oh maaf Di, Kak Risna turut berduka cita." Katanya turut berbelasungkawa.
Pelayan warung datang menghampiri kami dengan membawa semua pesanan kami. Ada Sop, sate, nasi, teh hangat dan mangkok cuci tangan. Kami pun makan dengan lahapnya, makanan yang ada di atas meja ludes kami santap karena lapar, kecuali yang tersisa adalah mangkuk cuci tangan.
"Kak Ris, di sini ada Musala?" Tanyaku.
"Ada di belakang, ikuti saja tanda panah itu!" Jawabnya sambil menunjuk rambu bertuliskan Musala.
"Adi ijin menjamak Magrib dan Isya dulu ya kak."
"Tuhan yang memberikan kau ijin". Katanya tersenyum padaku.
***
Waktu terus bergeser detik demi detik, menit demi menit. Kami sudah di dalam Bus, setelah sopir memberikan aba-aba untuk melanjutkan perjalanan panjang. Kumasuk lebih dulu duduk di samping kaca jendela Bus, lalu di susul dengan Risna.
"Kabel putih yang ditusuk dikuping itu apa Kak Risna?" Tanyaku, Risna lalu memandangku heran.
"Kau tidak tahu fungsinya?" Risna balik bertanya.
"Adi tidak tahu Kak."
"Kau itu hidup di zaman apa sih? Ini namanya headset untuk mendengarkan lagu-lagu, ada ribuan lagu yang tersimpan di HP ini". Risna menjelaskan dengan tersenyum.
"Terus kenapa diawal perjalanan bicara sendiri?"
"Melalui kabel putih ini, tersambung jaringan telepon dari HP ini, di dalam headset ini juga ada mikrofon untuk berbicara. Jadi Kak Risna tadi itu sedang bicara dengan Ibu di rumah dan Teman Kak Risna di Banjarmasin."