TUTWURIMAN

Akhmad Rifaldi
Chapter #14

Membelah Langit Putih #14

Zaman Sekarang – Kota Banjarmasin

Matahari sudah mengintip dari balik sang pagi, udara sejuk telah menyegarkan rongga paru-paruku, embun pagi masih berkeliaran di halaman parkir bandara, semua kaca mobil yang parkir di bandara Syamsudin Noor ini basah terpercik hawa lembap embun. Pada akhirnya diriku telah berada di bandara ini, jarak terjauh terpecahkan dari radius meninggalkan pulau tempat tinggalku di Kotabaru. Perjalanan ini masih belum berakhir, masih ada Kota Metropolitan yang akan aku kunjungi, petualangan yang sangat berisiko dan penuh pengalaman hidup yang tidak akan kulupakan.

Aku tak akan menyerah sampai aku menjumpai seseorang yang akan menjadi penolong hidupku untuk kembali di kehidupanku sebenarnya. Apa yang kualami sekarang seperti sebuah mimpi berbalut kenyataan, tak seorang pun manusia yang mengetahui bahwa darah daging yang kubawa ini berasal dari zaman yang berbeda.

Kalau dihitung berdasarkan tahun kelahiran, usiaku sudah beranjak tua dengan raga seorang bocah lelaki yang masih duduk dibangku SMP pada semester akhir. Ya Tuhan, selamatkan diriku, teriakku dalam hati, sambil menutup mukaku dengan kedua telapak tangan.

Aku sadar setelah melihat cincin di jemariku, bahwa aku harus terus bergerak maju dan maju. Waktu tidak akan memberi jawaban jika aku hanya duduk diam di kursi bandara ini.

"Mas, bagaimana cara terbang naik pesawat?" Tanyaku, setelah beberapa saat ada seseorang duduk dibangku panjang di sampingku. Orang itu memperhatikanku dengan tidak percaya dengan pertanyaanku, mungkin pertanyaanku salah.

"Kamu sendirian? Kamu belum pernah naik pesawat?" Mas yang satu ini malah balik tanya. Apakah dia belum pernah mati ketawa digelitiki harimau? candaku dalam hati.

"Belum Mas, ini penerbangan perdanaku termasuk menginjakkan kaki di tempat seperti ini." Kataku dengan lugunya.

"Begini, nanti kamu beli tiket di counter itu, syaratnya perlihatkan KTP atau Kartu Pelajar, bayar dengan harga aktual sesuai kota tujuan dan jenis pesawat yang akan kita naiki."

"Terus, setelah itu ke mana lagi Mas?" Kataku sangat antusias.

"Kamu bisa masuk lewat pintu dilorong ujung sebelah kanan itu, ada beberapa petugas yang akan memeriksa barang dan benda bawaan kita, lalu cari counter sesuai dengan tujuan kamu. Atau yang lebih ringkas dan cepat, kau masuk melalui pintu lounge Concordia Premier, tuh yang ada banner di depan pintu kaca itu, sebelah kiri lorong ini, di atas pintu kacanya ada tulisan Concordia Premier Lounge." Jelasnya dengan rinci.

"Baik Mas, aku paham."

"Yang penting, kamu cukup uang untuk beli tiket".

"Aku tidak punya uang sedikit pun, Mas." Kataku dengan jujur, lelaki itu langsung memanggul tas selempang dan menyeret koper besarnya, tanpa berbicara apa pun, mungkin pikirnya kalau tidak punya uang, tidak usah naik pesawat, berenang di lautan lepas saja.

"Terima kasih infonya Mas". Teriakku seadanya, lelaki itu menolehku dengan dingin. Aku hanya tersenyum memperhatikan usahanya menyeret koper pakaian yang sangat berat itu.

Aku pun beranjak dari tempat dudukku, berjalan menuju counter yang berbentuk kantor kecil, dengan simbol dikacanya gambar sayap burung berwarna biru dengan tulisan Garuda Indonesia.

Kubuka pintunya perlahan, sedikit mengintip dengan kepala yang terlihat, kuhitung ada 5 orang ada di sana di belakang meja dengan masing-masing menghadap layar TV tipis berwarna hitam. Aku masuk, dan menutup pintunya lagi dengan perlahan-lahan, takut terbanting dan menimbulkan suara keras. Padahal ternyata pintu itu otomatis tertutup sendiri dengan engsel khusus.

Kuberdiri mematung, sambil cincin yang kukenakan kuputar ke dalam telapak tanganku, lalu kukepalkan tanganku menggenggam mata cincin dan kulitku menyentuh mata cincin dari dalam telapak tangan. Suasana sangat hening, perasaanku juga tegang, ini bukan sebuah pelatihan untuk meminta pertolongan kepada mereka, sudah masuk tahap praktik kerja nyata.

Semua mata yang ada di ruangan itu memandangku, diriku jadi kikuk dibuatnya. Keringatku mulai merembes dari lubang pori-pori kulit wajahku, mengalir hingga ke ujung daguku. Pantatku garuk-garuk, padahal tidak gatal. Aku bingung bicara harus dimulai dari mana, tidak ada persiapan kalimat yang kuhafalkan di praktik kerja nyata ini.

"Bisa tolong tulis nama kamu dan kota tujuan kamu". Kata salah satu petugas di depanku. Seraya dia menyerahkan selembar kertas kecil dan pulpen. Kusambut dengan gemetar dan kutulis nama pendek dan kota tujuanku, hanya 2 kata yang kutulis di selembar kertas itu. 'ADI – JAKARTA'.

"Ini Pak." Kataku dan menyerahkan kembali kertas dan pulpennya.

Kemudian petugas tadi sibuk mengetik ditombol mesin tik tipis di atas mejanya, matanya memperhatikan dilayar TV tipis di depannya. Saat di Jakarta, baru kutahu nama benda itu adalah komputer, teknologi canggih yang sepengetahuanku belum merambah ke zamanku. Komputer yang dapat mengirimkan data ke seluruh dunia dengan jaringan internetnya, tanpa kabel atau disket memori. Tanpa jeda waktu berlama-lama untuk mengirimkan pesan seperti yang selama ini kulakukan dengan mengirim surat melalui kantor pos.

"Ini tiketmu, langsung Check-In saja ya". Katanya, apa itu check-in, kata-katanya masih belum familiar ditelingaku, aku takut menanyakannya. Langsung kusambut saja kertas tiket dari tangannya. Aku pun keluar dari kantor counter itu setelah dengan tulus ikhlas mengucapkan terima kasih. Tanpa uang pembayaran, tiket gratis telah kuterima, jadi aku harus mengucapkan terima kasih kepada petugas itu.

Di depan pintu kaca yang bertuliskan huruf transparan, kudorong pintu Concordia Premier Lounge untuk masuk. Kulihat ada salah seorang penumpang berdiri di depan kasir, dia menyerahkan tiketnya dan uang sambil mengucapkan kata minta tolong untuk Check-In. Tentunya aku akan mengikuti hal yang sama seperti orang itu.

"Tolong Check-In, Mba". Ucapku kepada gadis yang ada di depan meja kasir Lounge dan kuserahkan tiketku dengan jepitan jari jempol dan telunjuk, sedangkan jari tengah masih mengapit cincin. Ini juga momen praktik kerja nyata tanpa teori.

"Tujuan ke kota mana, Mas?" Tanya kasir itu. Eh diriku dipanggil Mas. Alhamdulillah, dimatanya diriku bukan seorang bocah lagi. Kulontarkan senyum terbaikku buat gadis manis itu.

"Jakarta, Mba."

"Baik, silakan masuk, nanti petugas kami akan melakukan proses Check-In, silakan dimakan hidangan kami".

"Sepuas-puasnya Mba?" Tanyaku udik.

"Iya, sepuas-puasnya, yang penting jangan dibungkus" Kata Gadis Kasir itu mengulang perkataanku.

Aku pun masuk dengan senangnya, hingga saat ini aku sudah sukses melakukan tahap Check-In sebuah pesawat Garuda Indonesia. Bagiku ini sudah sangat mengesankan bisa masuk ke Bandara. Berbaur dengan orang-orang berduit, berangkat tanpa didampingi oleh orang dewasa.

Persimpangan lorong pintu masuk Lounge ada 2 cabang, sebelah kiri di ujung kaca ada tulisan 'Smoking Area', sedangkan dilorong sebelah kanan orang-orang pada duduk santai sambil menyantap makanan. Saat itu kupilih ruangan di sebelah kanan, karena di sana banyak makanan yang dihidangkan.

Perutku sudah sangat lapar, pilihan pertamaku adalah makan sepuas-puasnya, sebagaimana telah disarankan oleh Mba cantik tadi. Menu yang disajikan berbagai macam hidangan, aku tertarik masakan opor ayam dan orek tempe. Tidak lupa minumannya adalah juice jeruk, baru nanti ronde yang kedua tempe goreng dan kue pudding coklat dengan minuman milo hangat.

Sambil menyantap makanan di kursi yang empuk, kuperhatikan tingkah orang-orang yang ada di sekitarku, bagiku adalah mempelajari situasi perilaku orang kaya. Di atas plafon menggantung TV besar tipis, dengan siaran berita peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia.

Kubaca di bawah kanan layar tertulis channel Metro TV. Kenapa aku selalu menemui simbol burung garuda pikirku, sambil terus menyantap hidangan yang sangat enak ini. Simbol jaketku sayap burung, cincinku dari sarang burung, rumah masa depanku berpagar sayap burung, pesawat kunaiki adalah Burung Garuda, sekarang ada Channel TV Metro dengan kepala Burung Garuda. Memang hidup manusia itu penuh dengan teka-teki. Serba burung.

Ada petugas lewat, berteriak menyebutkan nama penumpang dari tiket yang dipegangnya, lalu dia mendapatkan tip uang dari penumpang itu. Pikirku, didunia sekarang sangat mudah untuk mendapatkan uang, kiri dan kanan ada saja yang memberikan uang. Kalau tip sumbangan itu dikumpulkan, cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari.

Kembali mataku memperhatikan TV Channel berita itu, banyak berita yang memunculkan berita viral tak disengaja melalui camera CCTV dan Handphone, dijelaskan bentuk-bentuk CCTV yang dipasang di setiap ruang public. Kuperhatikan ruang lounge ini, ternyata ada juga dipasang kamera di setiap sudut ruang. Kucoba mengibas-ngibas telapak tanganku ke arah kamera untuk tidak menyorotku, kugunakan cincinku pula, kuminta mengalihkan arah mata camera. Entah berhasil atau tidak, tidak ada tandanya.

Pinggangku masih pegal, oleh duduk terlalu lama di dalam Bus tadi, kuingin berdiri dan melakukan olahraga kecil, tetapi malu dilihat calon penumpang di sini. Pikiran usilku kembali menyelinap otakku. Kuputar dan aku genggam lagi cincin Saranjana, kubuat mereka yang ada di seluruh ruangan ini untuk berdiri, seketika secara serempak semua orang berdiri hingga ke ujung lorong ruangan ini, ada yang masih mengunyah makanan dimulutnya, ada yang masih memegang piring kosong, ada juga yang masih memegang Koran.

Kuangkat tanganku ke depan selayaknya gerakan olahraga, diikuti dengan yang lain secara bersama-sama. Kuputar ke samping kiri hingga pinggang berputar mengikuti ujung tangan, lalu sebaliknya memutar lengan ke sebelah kanan hingga tulang pinggang berbunyi. Kuangkat lagi kedua lengan ke atas setinggi-tingginya seraya menjungkitkan ujung kaki.

"Pak Adi". Tiba-tiba ada petugas Check-in yang baru masuk, memanggil namaku dengan keras.

"Ya, itu tiketku Pak." Balasku. Kulirik orang yang ada di sampingnya untuk memberikan uang tip buat petugas itu. Seseorang yang tidak kukenal itu, langsung merogoh saku dan memberikan selembar uang sepuluh ribuan.

Lihat selengkapnya