TUTWURIMAN

Akhmad Rifaldi
Chapter #16

Perencanaan Berdarah #16

Malam ini aku bermalam minggu di Kota Jakarta. Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Malam Ramadhan yang dihiasi suara-suara Bilal yang mengumandangkan seruan Shalat Tarawih dan Witir. Bulan ini adalah bulan suci bagi umat Muslim dan Muslimah, memperbanyak ibadah dan melantunkan Ayat-Ayat Al-Quran. Aku juga sudah menjalankan kewajiban yang pertama di zaman ini di Lantai 1 Masjid At-Taqwa, di Gedung Menhan, Jakarta Pusat.

Suasana sakral seperti ini membuatku hanyut dalam kenangan, kenangan bersama Ibuku di malam Ramadhan penuh berkah, setelah Shalat Tarawih membantu Ibu menyelesaikan sisa penjualan gado-gado, kuteringat sebuah penyesalan yang membuat Ibu sedih adalah memecahkan plastik pembungkus gado-gado yang kupecahkan, kata-kata marah Ibu telah meninggalkan penyesalanku saat ini, pukulan di telapak tanganku tidak begitu sakit, tetapi kenapa hatiku terasa sakit. Aku adalah seorang bocah yang membuat Ibu tidak bisa memasak lontong dan menghambat rencana berjualan. Walaupun begitu, ibu masih ingat dan menjaga isi perut anak-anaknya agar tidak kelaparan.

Sebenarnya kejadian itu adalah sebuah pelajaran yang diajarkan oleh Ibu, agar anak-anaknya tidak merusak rencana dan tidak menghambur-hamburkan uang dengan sia-sia. Harga plastik bungkus gado-gado memang tidak mahal, namun saat itu Ibu tidak cukup uang untuk membelinya lagi, modalnya sudah habis untuk membeli bahan-bahan jualan gado-gado. Keuntungan berjualan hanya untuk dimakan sendiri sekeluarga pengganti makan malam. Itu hanyalah sebuah peristiwa yang sangat berarti bagiku sebagai pelajaran hidupku. Kini Ibu telah meninggal dunia, air mata tidak akan berarti tanpa persembahan maaf kepadanya, penyesalan tidak akan berarti tanpa persetujuan maaf darinya.

Ma, maafkan anakmu ini, dirimu pasti sangat sedih atas ketidakpamitanku meninggalkan rumah, aku baru menyadarinya. Berilah aku kesempatan baktiku kepadamu lagi, berilah waktu barang sesaat untuk mencium telapak tanganmu. Ma, bantulah anakmu ini untuk dapat kembali ke zaman kita, ke dunia kita, agar kita dapat berkumpul kembali menjalani sisa umur kalian. Bantulah anakmu ini untuk dapat menemukan anakmu di zaman lain, agar aku dapat bersujud dan bersimpuh dikakimu, Aamiin.

Tidak kuat rasanya aku berkurung dikamar hotel ini, bayang-bayang kejadian yang kualami sebelumnya telah membuatku terlena dalam kesedihan. Hawa dingin dari hembusan AC berubah menjadi hawa api yang membakar hati dan perasaan ini. Kukenakan jaketku, untuk segera keluar kamar menuju restoran hotel yang berada di samping lobi pintu utama hotel.

Kucari tempat duduk yang tepat menghadap Televisi besar yang menggantung didinding restoran. Malam ini sepi pengunjung, hanya ada sekelompok orang dewasa yang duduk melingkar di sekitar meja bundar yang terletak dipojok kanan di bawah gantungan TV tadi.

Aku memesan secangkir kopi hitam manis, walaupun aku bukan penikmat kopi sejati, tetapi kadang-kadang kalau ayahku membuat kopi, satu atau dua tegukan kuminta dari gelasnya. Kopi yang kuminum dari gelas Ayahku. Tegukan itu bisa membuatku berenergi sebagai bocah yang suka berlari ke sana kemari di dalam rumah.

Sambil menunggu pesanan kopi, kupegang dan kuraba cincin Saranjana yang melingkar dijari tengahku. Dalam benakku, sebenarnya apa saja kekuatan yang dimiliki oleh Cincin ini selain subyektif komunikasi satu arah secara massal dialam sadar manusia dan penglihatan tembus pandang? Aku bolak-balik cincin yang berbentuk sederhana ini, kupandangi lebih dekat dengan bola mataku.

Aku hanya meyakini bahwa cincin ini bukan magic atau adanya kekuatan paranormal yang membuat sang pemakai mendapatkan kekuatan super, tetapi kuyakini seyakin-yakinnya di dalam lingkaran sederhana ini ada kecanggihan teknologi chip simplexor yang dirangkai mengeluarkan electron-electron menusuk syaraf-syaraf si pengguna melalui tubuh manusia. Operating System Simplexor ada di hati nurani, seperti yang pernah disampaikan oleh Dhyzah saat berada di Saranjana. Kekuatan chip itu secara otomatis tersistem dari nurani pemakai terhubung ke otak pengguna sebagai sarana antenna berkomunikasi dengan frekuensi satu arah ke otak manusia yang lain. Radius jangkauan frekuensi sebatas mata pengguna memandang.

Secara kasat mata manusia tidak bisa melihat kilatan electron yang dimunculkan di tengah-tengah lubang cincin, tetapi aku dapat merasakan agak mencubit dijari tengahku, seperti rasa gigitan semut kecil, agak gatal-gatal gitu.

Aku akan mencoba beberapa trik untuk mengetahui kekuatan yang tersembunyi dibalik lubang lingkaran cincin ini. Kuletakan lingkaran cincin ini di telapak tangan lalu aku genggam, kutusuk-tusuk lenganku dengan tusuk gigi.

"Aauuu... aduh." Aku meringis, tidak kebal kulitku, aku meringis kesakitan oleh tusukan gigi yang menempel dikulitku. Terlihat lubang merah bekas tusukan di lenganku. Berarti aku dapat menyimpulkan bahwa kulitku tidak akan mempan terhadap tebasan pedang atau diterjang peluru dari senjata api, itu sama saja dengan superhero mau bunuh diri.

Percobaan berikutnya, cincin kuletakkan ke dalam mulutku, lalu kugigit asbak rokok yang ada di atas mejaku. Gigitanku tidak membuat asbak rokok pecah, hanya tersisa gigiku saja yang ngilu. Sehingga dapat kusimpulkan juga, cincin ini tidak bisa digunakan untuk mengunyah kunci gembok besi atau pagar kawat berduri.

Penelitian berikutnya meniup kursi yang ada di sampingku melalui lubang cincin, berharap kursi-kursi itu beterbangan dengan kekuatan tiupanku. Tetapi tidak ada angin kencang yang keluar dari mulutku. Wajahku cemberut atas tidak berhasilnya uji cobaku. Jadi dapat kusimpulkan tiupan dari mulutku tidak seperti superman yang bisa menerbangkan mobil-mobil atau pasukan penjahat.

Percobaan selanjutnya, melepas sepatuku yang tidak memakai kaos kaki, kuletakkan cincin di telapak kaki di dalam sepatuku, kucoba berlari di luar restoran di depan meja resepsionis, kuatur sepasang kakiku bersiap-siap memasang kuda-kuda bersiap berlari kencang, aku akan berlari dari pintu keluar hotel hingga pintu loby bagian dalam hotel.

"1, 2, 3 gooooo....." Aku berlari sekuat yang aku bisa. Sepertinya lariku biasa saja, malah tumitku terasa sakit menekan lingkaran cincin yang ada di dalam sepatuku. Lariku belum mencapai pintu lobi hotel, tetapi sudah membuat jalanku terpincang-pincang.

"Sedang apa Pak?" Kata resepsionis, tiba-tiba muncul dibalik mejanya.

"Oh maaf, tadi sedang berolahraga." Kataku berbohong.

Lihat selengkapnya