Hari ini adalah hari Senin, hari kerja bagi pekerja yang mengabdikan dirinya ke Pemerintahan ataupun Perusahaan Swasta untuk mendapatkan nafkah rezeki buat keluarganya di rumah. Saat matahari mulai terbit untuk menyinari permukaan bumi, jalan-jalan kota Jakarta mulai dipadati kendaraan-kendaraan dari luar kota. Merekalah para pencari nafkah yang tinggal di luar kota untuk mengais rezeki di kota yang sibuk ini, jalan-jalan bising dengan suara klakson seirama dengan detik-detik jam yang berputar.
Kota Jakarta menggeliat dari weekend selama dua hari, bersiap bangun untuk menghadapi kota tak pernah tidur hingga hari Jumat berikutnya. Hilir mudik transportasi umum tak pernah berhenti untuk mengangkut orang-orang sibuk di kota sebesar Jakarta.
Andai mungkin teknologi Saranjana bisa dipinjamkan dengan menciptakan dinding pintu yang dapat menghubungkan perpindahan orang-orang dari satu gedung ke gedung yang lain, tentu jalan raya di Jakarta tidak akan macet dipenuhi oleh roda-roda yang berputar. Orang-orang akan berjalan beberapa langkah saja untuk menuju kantor yang satu ke kantor yang lainnya, polusi udara akan berkurang drastis.
Suatu saat nanti akan ada gilirannya, para penghuni dimensi 4 akan menyalurkan pengetahuan teknologi ke kehidupan manusia, entah Negara mana yang beruntung sebagai penemunya, yang jelas manusia yang selalu bekerja keras dan pantang menyerah.
Jam 10.00 WIB, aku berangkat dari Hotel menuju Menara Merdeka, seperti biasa hanya berjalan kaki untuk mengurangi kemacetan, jalan kaki adalah kebiasaan di Kotabaru. Menyusuri jalan yang pernah kulalui pada hari kemarin, hingga menyeberang jalan melalui jalan di belakang Gedung Indosat.
Tidak seperti hari Sabtu, pada hari Senin jalan yang ada di belakang Indosat dipenuhi oleh Ojek Online berjaket hijau, ada yang menurunkan penumpang dan ada pula yang menunggu penumpang. Kepadatan ditambah dengan orang-orang bersepeda kayuh berjualan roti, kopi dan kue donat. Konsentrasiku hanya melangkah menuju Menara Merdeka, menembus kerumunan orang-orang yang melayani pengantaran.
Pintu pagar utama Menara Merdeka terbuka untuk pejalan kaki yang disediakan di sebelah kiri pintu utama yang diportal dengan jasa parkir. Aku masuk menyusuri jalan pintu samping dan melintasi trotoar gedung.
Kulihat di depan Menara Merdeka ada kolam yang berbentuk lingkaran besar dan di tengah-tengahnya ada air mancur yang keluar merekah seperti bunga. Di depan Lobi ada pemeriksaan oleh petugas keamanan dan pintu detector untuk mendeteksi benda metal yang dibawa oleh siapa pun yang masuk ke Menara Merdeka.
Setelah melewati pintu detector itu, tiba-tiba pintu kaca masuk gedung ini terbuka sendiri, aku sedikit kaget atas ketidaksiapan menghadapi sesuatu yang tidak terduga, maklum orang udik dari kampung.
Kemudian aku langsung menghadap resepsionis lobi yang berhadapan dengan pintu utama kaca tadi. Aku berdiri sebentar, karena resepsionis sedang melayani tamu yang lain, menyerahkan tanda pengenal untuk mendapatkan kunci akses berbentuk kartu yang bertali.
"Ya Pak, ada yang bisa saya bantu?" Tanya resepsionis. Kali ini diriku dipanggil Pak, pantaskah panggilan itu untukku? Atau itu hanya prosedur formalitas yang diberlakukan di kantor ini.
"Bu, Apakah Bapak Rifaldi ada dikantor?" Kuberanikan diri untuk bertanya.
"Hari ini beliau ada meeting di luar kantor, ada panggilan dari kantor Ombudsman."
"Apakah hari ini kembali ngantor?"
"Seperti hari sebelumnya, selesai meeting malam, langsung pulang".
"Mohon disampaikan, aku ingin bertemu Beliau besok, nama saya Adi dari Kalimantan".
"Baik, nanti saya sampaikan."
Hari ini kembali aku gagal menemuinya, begitu sulitnya diriku mencari bayanganku sendiri. Hari ini diriku tidak bahagia, diriku galau.
Saat aku membalikkan badan, kulihat di sebelah kananku, ruang lobi ujung ada Kantor Cabang BNI dan kantor cabang CIMB Niaga sudah buka. Di dalam ruangan kantor BNI lagi banyak nasabah yang sedang mengantre, sedangkan di ruang kantor CIMB hanya beberapa nasabah saja yang mengantre. Aku butuh dana yang sangat besar untuk membantu Indonesia.
Sebelum diriku memegang pintu kaca Kantor cabang CIMB Niaga tersebut, petugas security lebih dahulu membukakan pintu dari dalam dan mempersilakan diriku masuk. Telapak kananku masih mengepal dengan keringat dingin, aku tidak terbiasa masuk Kantor Bank berurusan secara formal. Aku gugup.
Pandanganku menyapu semua ruangan termasuk juga kamera CCTV yang menggantung di beberapa sudut ruangan. Kududuk dibangku panjang di belakang nasabah yang terlebih dahulu masuk. Petugas security mendekatiku, bertambah berkeringat badanku, padahal hawa AC sudah membuat berembun dinding kaca kantor ini. Jantungku berdegup kencang, apakah reaksi cincin ini telah berakhir? Mati aku, pikirku.
"Maaf Pak, ini nomor antreannya!" Kata Security itu, sambil menyerahkan kartu nomor antrean.
"Terima kasih Pak." Aku menarik nafas sedalam-dalamnya.
"Sebentar lagi gilirannya, di meja cs2."
Setelah nomorku disebutkan oleh TV tipis dari meja CS2, aku langsung berdiri mendekati petugas customer service Bank dan duduk di depannya.
"Ada yang bisa saya bantu Pak?" Tanya Bu Rita, yang namanya terpampang di depan dadanya.
"Aku membutuhkan dana." Ujarku, to the point.