Hari ini Hari Selasa, sudah 4 hari aku berada di Jakarta dan masih belum menemukan orang yang kucari. Harapan dan semangatku masih besar untuk terus mencari, namun hari ini ada pekerjaan yang harus kuselesaikan, selama diriku masih mampu untuk membantu Kepolisian Indonesia, tanpa memikirkan usiaku dan keperluan utamaku di Menara Merdeka.
Tadi malam, beberapa aplikasi Android telah kupelajari, secara basis telah diajari oleh Risna saat berada di dalam Bus tujuan Banjarmasin, terutama aplikasi unggulan dari Google yaitu Maps. Aplikasi ini akan kugunakan untuk menemukan lokasi berbahaya yang diinformasikan oleh Jaringan Mafia bisnis senjata dan perlengkapan perang dengan memanfaatkan situasi yang akan terjadi hari ini.
Seperti biasa, hari ini aku mengenakan jaket dan topi Tutwuri kebanggaan. Tas selempang kukenakan untuk mengisi bekal air minum dan sisa uang yang kupunya. Transportasi yang kugunakan adalah Taksi Offline, sengaja memang aku tidak menggunakan Taksi Online, hal ini disebabkan diriku masih belum familiar menggunakan aplikasinya dan belum memiliki akun pribadi, ditambah lagi dengan menggunakan aplikasi online seperti GoCar ataupun GrabCar, tentunya akan meninggalkan rekaman jejak di server perusahaan taksi online itu.
Hari ini sangat sulit menemukan taksi, mungkin karena sudah ada himbauan dari pemerintah untuk tidak mendekati titik demo, sehingga hari ini terasa sepi di seputar Taman Kebon Sirih. Langkah kakiku terus berjalan menuju jalan di samping Hotel Milenium, di sana banyak taksi Bluebird parkir menunggu resident hotel.
"Pak, bisa antar saya?" Tanyaku setelah berada di dalam Bluebird.
"Bisa dong, ke mana?" Tanya Sopir itu kembali.
"Ada beberapa titik yang akan menjadi tujuan kita."
"Oke, titik pertama di mana?"
"Kita ke Jalan ‘Subur Raya’, Pak."
"Jalan Subur Mana? Di Jakarta ada 2 Jalan Subur Raya, ada di Menteng dan yang satunya ada di Duri Pulo."
"Sebentar Pak." Ujarku, aku juga jadi bingung, kukira dengan Google Maps akan membantu 100%, ternyata kita harus lebih detail informasinya. Setelah menampilkan layar peta di aplikasi Google Maps, kuperlihatkan ke Sopir lokasinya.
"Oh itu, Jalan Subur Raya, ‘Duri Pulo’." Ucapnya.
"Sip, let's go kita berangkat," Ajakku. Kami pun mulai bergerak.
"Kalau tidak salah, di sana banyak tanah kosong yang dipenuhi semak belukar dan pepohonan." Katanya menjelaskan lokasi yang kami tuju.
"Betul Pak Rusdi," Kusebut namanya, ada papan pengenal di atas dashboard taksi di depan kursi penumpang.
"Nanti kita melalui Cideng lalu lewat Jalan ‘KH. Hasyim Ashari’, jika tidak macet kira-kira 10 menit kita sudah memasuki lokasi." Info Pak Rusdi.
"Sip Pak," aku hanya mengiyakan saja, karena tidak hafal dengan nama wilayah dan jalan yang dia sebutkan tadi.
"Mau menemui siapa di sana, Mas?" Pak Rusdi berbasa-basi.
"Ada teman bersembunyi di sana." Ujarku
"Teman apa teman, kalau mau menangkap basah pacarnya, saya ikut nangkap ya, biar saya jitak kepalanya."
"Bukan Pak Rusdi, aku belum punya pacar, masih SMP."
"Kalau di Jakarta ini, anak SMP sudah gonta-ganti pacar monyet, eh maksud saya cinta monyet itu lo." Kata Pak Rusdi berkelakar.
"Jadi banyak monyet ya di sini Pak?" timpalku sambil tertawa. Pak Rusdi ikutan tertawa terbahak-bahak, sampai terbatuk-batuk.
"Mas, kita sudah memasuki Jalan Hasyim Asyari, tuh sudah kelihatan Subur Raya, kita cari jalan mutar berbalik arah dulu." Ujarnya, sambil menunjuk jalan yang ada di seberang kami.
Setelah berbalik arah kami memasuki Jalan ‘Subur Raya’, jalannya lumayan kecil, mungkin kalau berpapasan 2 mobil agak repot. Kiri kanan jalan dipenuhi semak belukar di atas tanah kosong. Aku plengak-plengok memperhatikan jalan itu.
Memang lokasi ini sangat strategis untuk menyembunyikan sesuatu walaupun sebesar Truck. Yang tak habis pikirku adalah kok masih ada di tengah kota Jakarta yang padat ini tanah kosong yang rimbun dan belukar, sayang sekali pikirku, kalau aku meminta lahan ini pasti dikasihkan.
"Ke mana lagi kita Mas?" Tanya Pak Rusdi membuyarkan lamunanku.
"Di sekitar sini seharusnya ada Musala kecil," Ujarku. Dengan mata terus memperhatikan kiri kanan jalan. Kadang-kadang kutersenyum sendiri membaca coretan dan gambar orang-orang iseng dipagar beton ini, karya tangan-tangan usil yang suka menulis dengan tulisan grafis, banyak berbau politik.
"Mas, di sana itu ada kelihatan kubah Musala." Kata Pak Rusdi, dan mengarahkan telunjuknya ke arah kiri jalan.
"Kalau saya perhatikan ukuran jalan masuk ke Mesjid itu, tidak mungkin seukuran truck bisa masuk di jalan ini, apalagi ada tulisan sangat jelas berwarna hijau GANG BUNTU." Kataku.
"Iya Mas, ini Gang Buntu". Kata Pak Rusdi mengulang perkataanku.
"Sepertinya lahan ini bukan bagian dari wilayah tata kota, tidak ada pembangunan sempurna di sini." Kataku.
"Bagaimana Mas, kita ke arah mana?"
"Pak Rusdi, kita harus balik arah, ke arah yang kita lewati tadi, menurut Maps, ada satu Musala yang terlewatkan, di sebelah kanan jalan ini," Saranku.
Pak Rusdi mencari jalan untuk bisa maneuver berbalik arah di jalan yang sempit ini. Beberapa kali maju mundur taksi ini, sedikit demi sedikit sehingga ada peluang untuk berbalik arah.
"Pak Rusdi, kita menuju persimpangan Gang Buntu tadi". Pintaku.
"Baik Mas." Kata Pak Rusdi, kelihatan olehku semangatnya mulai turun, jawabannya sudah dengan kata-kata pendek.
Tepat di depan Gang Buntu tadi kuminta Pak Rusdi cari lokasi parkir yang tidak menutupi jalan mobil lain yang akan lewat. Pak Rusdi memarkirkan taksinya di antara barisan Bajai biru rusak yang parkir dipinggir jalan itu.
"Pak, biar kita berhenti di sini saja. Bapak tunggu di sini, aku jalan kaki ke Gang di seberang Gang Buntu itu, karena mobil tidak bisa masuk ke jalan kecil itu. Oh ya, supaya Pak Rusdi tenang kutinggalkan, ini kutitip persekot biaya taksi 1 juta rupiah". Kataku sambil menyerahkan 10 lembar uang 100 ribuan.
"Serius ini Mas?" Katanya tidak percaya.
"Iya Pak, yang penting aku jangan tinggalkan, on kan saja argo taksinya, Pak."
"Tenang saja, saya akan tunggu sampai kapan pun, kalau perlu sampai hari kiamat." Matanya berbinar dan semangatnya kembali pulih.
"Jangan begitu Pak, nanti kiamat beneran." Aku pun turun dari taksi, dan berjalan menuju jalan sempit yang penuh semak belukar.
Aku berhati-hati melintasi jalan semak ini, karena pepohonan di sini rindang sehingga menutupi pandangan jalan menuju Musala yang tersembunyi. Dari kejauhan terlihat atap multiroof Musala berwarna hijau daun, sangat sepi dari keramaian.
Menurut analisaku, tidak mungkin Truck-truck yang dimaksud dapat parkir di halaman Musala ini. Aku pun berjalan terus melewati halaman Musala terus menembus belukar yang dijadikan tempat pembakaran sampah.
Sebelum menembus jalan yang namanya Jalan 'Suka Jadi', kulihat di dalam semak-semak beberapa Truck yang parkir, berdempetan dengan pagar beton di ‘Suka Jadi’ itu, pagar itu sengaja di potong atau mungkin ditabrak lalu dibuat yang baru, sehingga tidak kelihatan ada kendaraan asing masuk di lokasi tanah kosong tersebut.
Aku pun mendekati truck-truck yang parkir itu sambil memperhatikan situasi di sana. Kunaik ke atas bak truck di barisan pertama, kubuka terpal penutupnya, sudah penuh terisi batu-batu, kayu panjang, senjata tajam dan linggis.
Kemudian kuperiksa lagi truck berikutnya, kubuka penutup terpal biru dan mengintipnya, penuh terisi senjata laras panjang dan pistol serta berpeti-peti peluru sudah disiapkan. Bagiku ini sangat mengerikan, akan banyak nyawa melayang dengan peralatan ini.
Sebelum kaki kananku menyentuh tanah untuk turun, kepalaku ada yang memukul dari belakang. Aku tersungkur di buritan truck bagian belakang. Aku meringis kesakitan, memegang kepala belakangku dengan posisi masih tiarap di tanah.
Sesaat aku berusaha bangun, tetapi tubuhku ditekan dengan kaki, aku tidak bisa melihat ke belakang dengan kepala sakit, berkonsentrasi pun tidak sanggup.
"Berani-beraninya kau datang ke tempat ini." Kata salah satu dari mereka.
"Sudah, kita bunuh saja, dia sudah melihat isi truck kita." Kata yang lain menimpali.
"Kita tidak bisa membuang mayatnya di sini."
"Taroh saja di dalam truck, saat kerusuhan terjadi, orang mengira sebagai korban kerusuhan."
"Kita ikat saja, biarkan saja dia membusuk di sini, setelah malam ini rencana kita selesai, baru kita habisi." Kata orang yang menginjakkan kaki di belakangku.
"Biar aku saja yang menembaknya." Mereka masih belum bersepakat bagaimana cara membunuhku.
Satu senjata laras pendek dengan dipasang alat peredam suara telah menekan ke kepalaku. Mereka benar-benar serius untuk menghabisiku.
Aku pun dengan pelan-pelan berusaha menggapai cincin ke arah genggaman, berat sekali tangan kiriku menyentuh jari tengah tangan kananku. Tangan kiriku tertindih oleh tubuhku, aku tidak bisa bergerak selama salah satu di antara mereka masih menginjak tubuhku.
Kepalaku masih berkunang-kunang. Aku kehabisan cara untuk menarik tangan kiriku yang tertindih badanku, aku berusaha dengan sekuat tenagaku. Moncong pistol sudah berbunyi siap ditembakkan.
Akhirnya mata cincin itu hanya kutempelkan ke kulit leherku, kupandangi kaki-kaki mereka, tekanan pada tubuhku berkurang dan terangkat, lalu aku berdiri dengan bersusah payah.
"Dasar penjahat goblook." Aku berteriak sangat marah. Mereka diam mematung mendengarkan caci-makiku.
"Kalian butuh 1000 rencana cadangan untuk menghabisiku, kalian bisa saja kuremas dan kuremukkan tulang kalian tanpa kusentuh." Amarahku tak terkendali, aku sangat emosi, mereka hanya diam mematung tidak merespons.