Hari ini hari kamis, hari ke 6 setelah meninggalkan Kotabaru Kalimantan Selatan, pagi-pagi sekali aku telah berpakaian rapi, persiapan mengunjungi Menara Merdeka. Istirahat beberapa jam setelah berpetualang meredakan kondisi demonstrasi yang ada di Jakarta Pusat, walaupun hanya membantu di belakang panggung demokrasi Indonesia.
Aku tidak bisa mendustai tubuhku dari kelelahan, berusaha mengejar waktu yang diberi peluang untuk mengubah peristiwa dan waktu kehidupanku.
Kali ini aku mengenakan baju kaos dengan setelan celana levis yang kedua, jaket dan levisku yang lain kutitipkan ke laundry hotel. Di depan cermin kamar mandi kusisir rapi rambutku, kutarik sedikit rambutku kebagian depan keningku.
Kukenakan sepatu sekolahku dengan berganti kaos kaki yang baru. Siap berangkat ke Menara Merdeka untuk petualangan terakhirku, jika itu terjadi, maka kurelakan jaketku tertinggal di pelayanan hotel ini.
***
Jalan ‘Budi Kemuliaan’ tampak sepi, di depan pintu utama di luar pagar Menara Merdeka, kutengok halaman gedung yang tidak kelihatan orang-orang, tidak begitu banyak aktivitas karyawan di sana. Dari situasi ini, aku sudah mulai curiga akan terjadi kegagalan hari ini.
"Pak, hari kok sepi sekali?" Tanyaku kepada petugas security yang kemarin kukenal.
"Iya Mas, hari ini ring satu Jakarta Pusat diminta pemerintah untuk diliburkan, setelah subuh tadi terjadi kerusuhan besar, banyak kerugian materi maupun korban nyawa." Security itu menjelaskan.
"Kapan Kantor normal kembali?" Tanyaku.
"Kemungkinan besar besok karyawan kembali bekerja." Jawab Petugas.
"Oh ya, apakah ada gedung-gedung yang terbakar saat kerusuhan?"
"Tidak ada Mas, hanya pembakaran mobil-mobil dan penembakan."
"Tetapi kondisi masih dikuasai Kepolisian, Pak?"
"Ya pastilah, kondisi langsung dikuasai pagi ini."
"Alhamdulillah. Tadi malam itu banyak pendemo bayaran yang sengaja membuat rusuh."
"Kalau itu saya tidak tahu pasti."
"Apakah bisa kudapatkan nomor HP Pak Rifaldi?"
"Andai saya punya, tentu saya berikan Mas."
"Ya udah Pak, aku permisi dulu, besok siang ke sini lagi. Semoga Beliau masuk kerja."
Sejak kami mengobrol bersama petugas security itu, dari kejauhan para pemilik warung-warung di atas trotoar itu memandang kami dan menunggu diriku lewat. Mereka sudah siap-siap dengan beberapa lembar uang ditangannya.
Efek dari cincin yang kugunakan saat berkomunikasi dengan petugas security. Cincin ini pengaruhnya sangat kuat jika telah digunakan terhadap obyek manusia, berbekas namun tidak kentara.
Akhirnya, aku pun meninggalkan petugas itu, berjalan dengan santai, menyediakan sebuah topi sebagai tempat mengumpulkan dana.
Angin bertiup kencang disela-sela jalan ini, menggugurkan lembar-lembar dedaunan yang lepas dari ranting-ranting pohon dipinggir jalan ini. Rambutku seperti menari di depan keningku terkibas oleh belaian angin siang. Jalan yang kulalui ini di himpit oleh 2 buah gedung tinggi besar yang megah, ‘Gedung Indosat’ dan ‘Gedung Sapta Pesona’.
"Terima kasih ya Mas." Kata pedagang pertama yang kulewati sambil menaruh uang ditopiku.
"Jangan sungkan-sungkan lewat sini." Kata pedagang kedua, juga melakukan hal yang sama.
"Jadilah payung di antara kami." Kata pedagang berikutnya, aku tidak paham maksudnya.
"Jika ada yang dibutuhkan, beritahu kami."
"Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh."
"Kami bersama engkau".
"Merdeka..." Kata yang lain, aku tidak kuat menahan tawaku.
Setelah puluhan pedagang kulewati, tepat di depan jalan ini, di depan patung kuda, ojek-ojek pangkalan sudah menunggu dengan raut muka senang. Kulihat ketua pangkalan yang kemarin juga ada di sana. Kuberikan semua uang yang bertumpuk kumal di dalam topiku.
"Seperti biasa, tolong bagikan rezeki ini." Kataku kepada ketua pangkalan.
"Siap Bos." Katanya.