"Adi, aku masih menunggumu di sini". Kata Dhyzah.
"Banyak masalah terjadi di dunia portal Jingga." Kataku pada Dhyzah.
"Jangan terlalu dipaksakan, waktumu masih ada tersisa, yang penting jaga keselamatan dan kesehatanmu di sana."
"Apakah cara ini akan berhasil?"
"Didunia kami belum pernah mencobanya, tetapi menurut analisa, hanya itu cara satu-satunya untuk mempertemukan magnet dengan sumbu yang sama."
"Bagaimana kalau ini gagal kulakukan?"
"Mohon, jangan buat ini kegagalan atas kesalahanku."
"Ini bukan kesalahanmu, ini adalah sebuah takdir untuk diriku."
Dhyzah memandangku tanpa selembar kain penutup di wajahnya, wajahnya bersih membiaskan sinar yang memantul. Wajahnya cantik sekali, tidak pernah ada manusia yang pernah kulihat secantik paras wajah Dhyzah. Seutas senyum telah memompa aliran darahku, senyuman itu seperti obat motivator yang menggerakkan otot-ototku.
"Kumohon, kembalilah padaku, bukan karena penyesalan atas kesalahanku, tetapi kuingin bertemu denganmu". Kata Dhyzah.
Kecantikan wajahnya yang baru saja membiusku, kini aku menyadari bahwa kami telah berdiri di antara taman bunga yang indah di dalam tabung kaca yang sangat besar. Tabung kaca yang berkelap-kelip dari kilauan mentari yang tembus menyinari taman bunga yang berwarna-warni, sangat identik dengan kepakkan sayap kupu-kupu yang berkeliaran di atas permukaan taman.
Serpihan-serpihan cahaya bertaburan sebesar debu menaburi tubuh kami, lalu berputar tertiup angin memutari tubuh kami yang berdiri sangat berdekatan. Kata-kataku tidak sanggup melukiskan keindahan tempat ini, untaian ucapanku tidak sanggup mengiaskan rasa terpesonaku.
Ketika keindahan semakin merambat ke suasana berbunga, Ketika Dhyzah memeluk dengan erat tubuhku, Ketika suara instrumen musik mengalun merdu entah dari mana sumber bunyi itu. Tetapi itu menambah suasana semakin romantis. Aku hanya merasakan dekapan yang sangat wangi, sewangi buah kasturi, aroma lembut membelai pernafasanku.
Tiba-tiba suara instrumen musik itu ternoda oleh suara ketukan-ketukan yang semakin terdengar kencang, memudarkan suara instrumen secara perlahan-lahan. Suara ketukan-ketukan itu semakin keras menjadi suara pukulan-pukulan palu memukul dinding.
Aku terbangun dari mimpiku oleh suara pukulan palu memukul paku didinding kamar sebelah. Walaupun hanya beberapa kali dilakukan, tetapi itu cukup menghancurkan sebuah mimpi romantis. Mimpi itu membuatku berpikir bahwa itu sebuah mimpi yang sangat dekat dengan realitas, aroma buah kasturi masih terasa di penciumanku.
Kulihat jam yang ada didinding, sudah menunjukkan pukul 10.00, ini sudah sangat siang, aku bangun kesiangan hari ini, sedangkan hari ini hari Jumat sangat tanggung jika bertamu di Menara Merdeka, suara keras dari Masjid sudah melantunkan alunan pengajian tanda dibukanya pintu masjid untuk melaksanakan Shalat Jumat.
Kubersihkan badanku dengan guyuran air hangat, membersihkan semua keringat dan kotoran yang tak terlihat. Semoga hari ini adalah hari terakhirku berada di sini, kugunakan pakaian yang seharusnya kupakai untuk kembali ke Kota Saranjana dengan mengenakan pakaian saat pertama kali aku ke Kota Jakarta dan meninggalkan semua pakaian dan perlengkapan di tempat tidurku termasuk HP dan sisa uang yang ada ditas kecilku.
Di depan cermin, kusisir rambutku serapi mungkin, dengan menambahkan sedikit minyak rambut Getsby, minyak rambut zaman sekarang yang hampir sama dengan minyak rambut Lavender di zamanku, kutarik beberapa helai rambut di depan keningku. Aku telah siap berangkat terlebih dahulu ke Masjid dengan berjalan kaki, setelah itu baru menuju Menara Merdeka.
***
Di depan pagar Mesjid Kemhan At-Taqwa hingga ke ujung jalan Tanah Abang Timur, banyak sekali orang berjualan di atas lapak tikar plastik, Pasar kecil di hari Jumat, ada yang berjualan peralatan HP, Parfum, baju, makanan, dan lain-lain. Kuingin sekali membeli parfum dengan aroma Kopi Cappuccino, tapi kubatalkan niatku karena tidak membawa uang, lagi pula aku sudah cukup banyak mengambil hak orang lain, tidak harus meminta ke pedagang parfum itu.
Daripada diriku tergiur dengan berbagai macam benda-benda yang diperjual-belikan, lebih baik kumasuk ke dalam masjid. Dibalik pintu pagar masuk masjid, banyak sekali penjagaan dan pemeriksaan, petugas berpakaian lengkap dengan senjata laras panjang, belum lagi pintu metal detektor yang harus kita lalui, tubuh calon jemaah diraba-raba, semua tas bawaan dan jaket harus dititipkan dan ditinggal rak pintu masuk. Sungguh luar biasa pemeriksaan sebelum masuk ke masjid ini. Di Masjid ini Shalatlah dengan serius, jangan membawa niat yang aneh-aneh.
Aku mengikuti jamaah yang lain untuk mengambil air wudhu yang ada di bagian belakang bangunan, ada 2 tempat wudhu di sayap kanan dan sayap kiri, masing-masing sayap ada tangga naik menuju ke atas lantai 2.
Dilantai dua kuikuti ke mana arah kakiku melangkah, tibalah di tempat yang kosong di luar ruangan utama di sayap sebelah kiri, ruangannya hanya berukuran sekitar 3x4 meter tanpa AC hanya angin alam sepoi-sepoi dan pintu terbuka terhubung dengan ruangan utama yang luas.
Kududuk di tempat itu bersandar pagar, mendengarkan sang Kaum Masjid membacakan laporan Kas Masjid. Seketika aku merasa tidak nyaman dengan detak jantungku yang mulai kurasakan. Debaran yang kurasakan sama persis saat diriku berada di Lantai 17 Apartment Green Pramuka tempo hari.
Kulihat kondisi cincin yang ada dijari tengahku, tidak ada kilauan atau sesuatu yang aneh, hanya saja jari kelingkingku gemetar tanpa bisa dikontrol. Kupegang kuat-kuat kelingkingku agar berhenti gemetar.
Pemikiranku ini hanya efek samping peredaran darah di jari tangan dan pompaan darah ke jantung yang tidak stabil atas penggunaan cincin ini, memang dalam hidupku hingga sekarang tidak pernah melingkarkan cincin apa pun, kecuali yang perdana adalah cincin Saranjana.
Setelah selesai menjalankan ibadah di Masjid Kemhan At-Taqwa, aku langsung berjalan menuju belakang Menara Merdeka melalui jalan pintas Tanah Abang Timur Dalam, sebelah kiri jalan banyak berbaris rumah makan kecil yang tutup karena bulan Ramadhan.
Bangunan Menara sudah tampak terlihat sangat dekat. Tepat diujung jalan, pintu pagar belakang Menara Merdeka terbuka untuk keluar masuk kendaraan roda dua. Aku masuk dari pintu belakang itu dan langsung menuju Lobi depan.
Setelah tubuhku diperiksa oleh petugas security dengan portable metal detector dan melintasi pintu metal detector, aku berjalan menuju resepsionis Lobi Utama, tepat di depan pintu utama.
"Maaf, apakah Pak Rifaldi ada?" Tanyaku kepada resepsionis itu.
"Apakah sudah ada jadwal janji?" Tanya resepsionis.
"Beberapa hari yang lalu, sudah kusampaikan kepada resepsionis yang lain."
"Sebentar saya tanyakan dulu dengan resepsionis lantai atas."
Sambil menunggu, konfirmasi resepsionis dilantai atas. Kuperhatikan lobi samping kiri, banyak sekali orang-orang berkulit hitam bertato masuk ke gerbang akses masuk dengan hanya menggunakan 1 kartu akses. Kalau kuhitung yang sudah masuk sekitar 10 orang lebih.
"Pak, Tolong dipantau orang-orang tadi, seharusnya yang diizinkan hanya 2 orang." Kata Resepsionis tadi kepada Security depan pintu utama.
"Bu, semua sudah naik ke atas". Kata Security itu.
"Waduh, tolong Pak, panggil beberapa security untuk naik ke atas, mereka mau ketemu dengan Pak Rifaldi." Kata Resepsionis, dadaku sedikit bergetar saat nama itu disebut. Orang yang memiliki nama itu juga ingin kutemui.
Situasi lantai lobby ini tiba-tiba menjadi ramai dengan koordinasi lewat radio tangan para petugas security yang merasa kecolongan dengan tembusnya tamu yang sudah naik ke lantai atas.
"Bu, mereka naik ke lantai berapa?" Tanya security, bersama anggotanya sebanyak kurang lebih 10 orang.
"Mereka diarahkan ke lantai 29, Pak."
"Infokan ke resepsionis atas untuk menyarankan Pak Rifaldi tidak menemui mereka sebelum kami tiba."
Resepsionis itu langsung menelepon dan para security tadi setengah berlari menuju Lift di belakang melalui pintu masuk gerbang akses di bagian kiri lobby. Sedangkan diriku hanya berdiri di depan meja resepsionis sambil memperhatikan kesibukan mereka dalam menangani tamu tak diundang itu.