Dimensi 4 – Kota Saranjana
Dengan dekapan erat, masih kumemeluk tubuh lelaki itu, aku akan terpisah dengan diriku sendiri, mataku masih kupejamkan, tidak ada rasa sakit saat tubuhku berubah menjadi cahaya yang beterbangan, kurasakan tubuhnya masih ada dalam pelukanku, kuingin moment ini tidak akan pernah berakhir.
Kumerasakan keanehan dalam proses perpindahan tubuhku, apakah cara ini tidak berhasil? padahal aku telah menyentuh kulitnya dengan kulitku, padahal kulitku telah menjadi butiran cahaya yang mengelupas. Jika hal itu terjadi, maka diriku akan hidup bersama dengan zaman yang bukan zamanku. Karena tubuh yang kudekap ini masih terasa, aku masih memeluknya.
Bentuk raga yang ada di depanku masih berasa dalam pelukanku, semangatku luluh berurai atas kegagalan yang aku rasakan setelah perjalanan jauh untuk menemui diriku dimasa depan, dalam portal berwarna jingga. Setelah kupegang kulit telapak tangan lelaki itu dan kami berpelukan, tidak membuat berpindahnya ragaku.
Namun, hidungku merasakan aroma wangi yang mengisi rongga paru-paruku, aroma wangi yang pernah membuatku terpesona, kasturi.
Rasanya aneh, raga yang kumemeluk tidak segempal tubuh milik lelaki yang kutemukan di Kota Jakarta, dadanya sangat lembut berisi, dengan penuh keraguan kubuka mataku, membuang rasa takut atas kegagalan proses perpindahan ragaku, aku hanya ingin mengetahui dari mana aroma wangi Kasturi itu berasal.
"Adi, pelukanmu sangat kuat, aku sulit bernafas". Aku terkejut, suara itu sangat kukenal, suara yang menghiasi mimpi saat kubangun kesiangan di Hotel ‘Takes Mension’.
"Kenapa lelaki itu berubah menjadi dirimu?" Aku bertanya kepada Dhyzah, yang sudah berada dalam pelukanku. Aroma wangi itu yang kurasakan dari tadi berasal dari tubuhnya. Dhyzah tertunduk malu, bahasa matanya pasti menggambarkan senyum dibalik cadar merahnya.
"Aku sudah beberapa hari ini menunggu kamu di sini, tiba-tiba dirimu muncul dalam posisi telah memeluk tubuhku, pelukanmu begitu lama dan erat." Katanya berpura-pura mengambek, secepatnya kulepaskan pelukanku dan mundur dari tubuhnya, aku jadi malu dan salah tingkah, menggaruk dadaku yang masih dilapisi jaket, kakiku mengais-ngais lantai padahal lantai tidak ada kerikil batu.
"Berarti aku sudah kembali ke Kota Saranjana?" Tanyaku, baru kusadari bahwa aku sudah bisa kembali dengan selamat, senyumku baru merekah, walaupun rasa senangku agak terlambat reaksinya. Wajahku tidak dapat menyembunyikan semringah kebahagiaanku.
"Aku turut senang dan bahagia dapat melihat dirimu kembali."
"Tetapi kembalinya aku di kota ini, petanda kita akan berpisah untuk selamanya."
"Aku akan mengunjungi didunia mimpimu, raga kita terpisah, tetapi persahabatan kita tak kan lekang ditelan dimensi".
"Dhyzah, aku ingin....." Kalimatku terhenti.
Beberapa tubuh merambat keluar dari balik dinding, menggelayut seperti karet dari tengah garis lingkaran dinding berwarna merah. Tubuh-tubuh tinggi besar telah berdiri di belakang Dhyzah, tidak hanya postur-postur lelaki, tetapi juga ada postur tubuh wanita dengan model pakaian seperti style Dhyzah. Mereka semua adalah keluarga-keluarga Dhyzah dan beberapa petugas pemerintah Kota Saranjana. Ada ratusan orang berdiri di belakangnya.
Sesegera mungkin kulepaskan cincin yang dipinjamkan, kuserahkan dengan kedua belah telapak tanganku, seperti layaknya menyerahkan benda pusaka kepada Ayah Dhyzah. Beliau menerimanya sambil menundukkan kepalanya petanda hormat.
"Kami masyarakat Saranjana, mengucapkan terima kasih banyak atas usaha Adi untuk menjalankan rencana kami, kami juga mohon maaf telah membuat engkau mengalami kesulitan atas kesalahan putri kami." Kata–kata sambutan keluar dari mulut Khahfy.
"Rasa hormat yang setinggi-tingginya atas pertolongan dari Bapak Khahfy dan masyarakat Kota Saranjana yang luar biasa". Kataku seraya menundukkan kepala.
"Jika suatu saat nanti Adi ingin berkunjung ke Kota kami, kami akan persiapkan protokol resmi dari pemerintahan Saranjana, karena Adi sudah kami anggap sebagai keluarga kami sendiri."
"Terima kasih banyak, tetapi aku takut tidak bisa kembali lagi ke dimensiku." Kataku tersenyum simpul.
"Melalui protokol keimigrasian Saranjana. Tentu itu adalah perjalanan resmi yang disetujui Paduka Raja."
"Sebelum melintasi portal hitam ini, diriku mohon ijin yang sebesar-besar, apakah diperbolehkan melihat wajah Dhyzah?" Permohonan ku kepada Khahfy.
Dhyzah memandangku kaget dengan menyipitkan mata dan tatapan tajam kepadaku. Aku tidak paham isyarat matanya itu.
"Aku sebagai Ayahnya mengizinkan, tetapi itu kukembalikan atas persetujuan Dhyzah sendiri." Kata Khahfy.
Dhyzah menunduk, ujung jemarinya mencari sesuatu yang ada di belakang kepalanya. Dadaku berdebar-debar menantikannya, tanganku meremas-remas topiku yang sedari tadi sudah ada di genggamanku.
Tanpa sadar kutarik pengikat ukuran topi yang ada di belakang topi hingga terputus, lalu kusembunyikan ke belakang badanku, supaya mereka tidak mengetahui bahwa aku sedang mengalami grogi. Seperti sebuah tombol yang dia tekan dari belakang kepalanya, kain penutup wajahnya berubah transparan menjadi tembus pandang secara perlahan.
"Masya Allah, kau cantik sekali Dyzah, seperti saat pertemuan kita di dalam mimpiku." Kataku memuji kebesaran Tuhanku, ada seorang wanita yang diciptakan-Nya melebihi kecantikan wanita manusia, inilah seorang Bidadari yang hanya ada di dalam dongeng di kehidupan manusia.
"Aku akan selalu mengingat kunjunganmu ini". Katanya dengan tersenyum. Kemudian penutup wajah yang tembus pandang itu kembali normal seperti semula.
"Baiklah saudara-saudaraku, Adi mohon pamit untuk kembali ke duniaku".
"Semoga petualangan perjalananmu ini meninggalkan kesan yang baik." Kata Khahfy.
Pelan-pelan kumundur melangkah ke arah portal, perpisahan dengan perasaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Sangat berat rasanya meninggalkan orang-orang yang sangat baik seperti mereka apalagi peristiwa yang kujalani bersama Dhyzah yang sangat berkesan.
"Di, di belakangmu itu portal Jingga, seharusnya Black Portal ada di sebelah sana." Tegur Dhyzah.
Kupandangi portal di belakangku, aku jadi salah tingkah dengan menutup mukaku. Aku pun bergeser ke kanan tetap menghadap para pengantar, tanpa membalikkan badan, kemudian aku melambaikan tangan, para pengantar membalas lambaian tanganku.