Vio mendahului Ella masuk ke rumah setelah meletakkan sepedanya di tempat biasa. Ingin dia segera ke kamar dan merebahkan diri di tempat tidur yang nyaman. Ah, sebetulnya dirinya hanya ingin menenangkan diri dari kejadian yang dialami di sekolah tadi.
Sayangnya, kesempatan beristirahat itu terenggut oleh suara wanita di dapur. “Vio, kamu udah pulang? Bisa tolong ambilkan jahitan di gang sebelah?”
“Suruh Ella aja. Vio capek mau istirahat,” jawabnya sambil meletakkan tas di meja belajar, dia menghempaskan diri di tempat tidur.
“Sama aja. Mama minta tolongnya sama kamu. Tolong, ya.”
Vio tidak menjawab, melainkan menutup kepalanya dengan bantal untuk menghalau suara-suara dari luar. Siang ini dirinya tidak ingin diganggu. Tak ingin melakukan apa pun selain berdiam diri di kamar, sesuatu yang amat jarang dilakukannya.
Biasanya, sepulang sekolah ada saja yang dilakukan Vio. Entah berkunjung ke tetangga sebelah, menonton acara musik di televisi, atau mencoba resep masakan baru. Namun, sangat berbeda dengan hari ini. Baik fisik, hati, dan pikirannya sangatlah lelah.
“Lho, Vio, kamu masih di sini? Jahitannya mana?” Sang mama yang tiba-tiba muncul dengan pertanyaan itu membuat dada Vio bergemuruh.
Gadis berusia 18 tahun itu bangkit dari tempat tidur. “Suruh Ella aja. Vio bener-bener capek, Ma! Mama nggak lihat Vio lagi tidur?” serunya kesal.
“Ya, tadi ‘kan Mama nyuruhnya kamu, bukan Ella. Lagian kenapa sih? Sama aja mau kamu atau Ella. Udah sana! Cepetan ambil. Itu baju udah selesai dari minggu lalu, cuma belum sempat ambil. Sekarang mumpung inget.” Mama berkata tanpa memedulikan raut wajah Vio yang memerah.
Tanpa bisa membantah lagi, Vio keluar dari kamar tanpa berkata-kata. Dadanya bergemuruh. Wajahnya terasa panas dan seluruh tubuhnya gemetar karena menahan emosi. Air matanya nyaris tumpah di depan kamar yang bersebelahan dengan dapur sekaligus ruang makan. Dilihatnya Ella, sang adik, malah sedang asyik menikmati makan siang di sana.
Mama memang pilih kasih! Selalu aja aku yang disuruh! Ella selalu jadi anak emas dan kesayangan! Kekesalan di hati Vio begitu meluap-luap sampai menjatuhkan sepeda Ella ketika mengeluarkan sepedanya sendiri. Namun, Vio tidak memedulikannya dan pergi begitu saja.
Angin semilir menerpa wajah Vio yang basah oleh air mata. Kakinya bergerak cepat mengayuh sepeda ke alamat yang dituju hingga kelelahan dan berhenti di pinggir jalan.
Vio turun dari sepeda dan duduk di trotoar. Sepasang lututnya menjadi wadah untuk menyembunyikan kesedihan yang tergambar di wajahnya. Selama lima menit dirinya bergeming tanpa peduli beberapa pengguna jalan menatapnya heran. Satu dua orang yang penasaran mencoba bertanya dengan menepuk punggungnya, tapi segera dihalaunya sehingga tak ada lagi yang mendekatinya. Sekian menit kemudian, dia bangkit dan kembali menaiki sepeda.
Tak lama, Vio telah sampai di tempat tujuan. “Permisi, mau ambil jahitan,” katanya setelah mengetuk pintu.