TWIN BUT NOT TWINS

Lirin Kartini
Chapter #4

BAB. 4 - PINANG DIBELAH DUA

Koridor kelas cukup riuh di jam istirahat. Ella berjalan cepat sambil menghindari murid-murid yang berlarian. Beberapa menyapa dengan melambaikan tangan, tapi tidak dihiraukan. Dirinya tahu mereka tidak benar-benar mengenalnya. Mereka hanya salah mengira Ella adalah Vio, dan Vio adalah Ella. Padahal mereka berada di jenjang kelas yang berbeda.

Sudah satu tahun lebih Ella menjadi pelajar SMA swasta ini, tapi dirinya tidak punya teman dekat. Bukan karena tidak ada yang mau berteman dengannya. Ini adalah keinginannya sendiri. Menjauh dan menghindar dari segala hubungan akrab dan intim, membangun tembok pembatas yang tinggi dan tebal, adalah bentuk pertahanan dirinya.

Mungkin ada satu atau orang yang cukup sering menghabiskan waktu dengannya karena tugas kelompok. Atau sekadar mengobrol santai sambil bercanda. Tidak bisa disebut akrab, tidak bisa pula disebut jauh. Ella hanya berbicara seperlunya, mendekat seperlunya. Karena itu, julukan judes, sombong, pilih-pilih teman, melekat padanya. Apa pun yang dia lakukan selalu dijadikan bahan perbandingan dalam obrolan sehari-hari.

“Ella itu sebenernya cantik, ya. Cuma ketutup aja sama Vio.”

“Aura Vio lebih menawan, lebih ramah, lebih luwes. Lebih menarik dilihat.”

“Bener sih. Ella itu kaku. Kalau disapa, nggak pernah balas. Apa nggak lihat?”

“Mereka itu kembar nggak sih? Mirip banget soalnya. Tapi kok bisa beda gitu?”

Kalimat-kalimat semacam itu sudah sering Ella dengar semasa SMP. Di mana pun dia berada bersama sang kakak, suara-suara sumbang itu akan terus berlanjut.

Satu-satunya tempat Ella bercerita hanya pada Aulia. Sayangnya mereka harus berpisah setelah bersahabat sejak SMP. Aulia melanjutkan di SMA Negeri favorit, sementara Ella harus terkungkung di SMA swasta bersama sang kakak. Hidup dalam bayang-bayang sang kakak.

Pertemuan Ella dengan Aulia di warung bakso beberapa hari lalu sedikit mengobati rasa rindu dan mengurangi kesedihannya. Usul Aulia untuk pindah sekolah, memang sudah pernah terbayang di benaknya. Namun, hal itu tidak akan mudah dilakukan.

“Pindah? Ngapain?” Respons Vio saat Ella mengutarakan keinginannya sudah bisa diduga.

Saat itu Ella hanya berkata sambil lalu, “Aku pengin pindah sekolah.”

“Ngapain pindah?” Vio mengulang lagi pertanyaannya.

Ella hanya tersenyum samar dan tidak menjawab lagi. Namun, kali ini Ella sudah tidak bisa menahannya. Apalagi kejadian kemarin masih teringat jelas di benaknya. Betapa sang kakak terlihat begitu membenci dirinya.

Setelah pertengkaran kedua orang tuanya, Vio mendatangi Ella dengan marah-marah. “Kau ini anak kesayangan! Tapi nggak pernah sekali pun belain Mama atau lerai mereka! Egois!”

Lihat selengkapnya