TWIN BUT NOT TWINS

Lirin Kartini
Chapter #5

BAB. 5 - KEPAHITAN

Suasana hati Vio sangat buruk. Sepanjang pagi dia menekuk wajah dan bibirnya cemberut. Tumben-tumbennya juga hari ini dia sendirian, tidak bersama sahabat baiknya saat pergi ke kantin. Dia duduk seorang diri di bangku paling belakang, jauh dari celoteh riang teman-temannya.

Vio melahap sepotong pisang goreng. Mengunyah perlahan sambil memikirkan kejadian tadi pagi. Sungguh awal hari yang buruk mendengar Mama dan Papa ternyata menyetujui kepindahan Ella. Adiknya itu semalam sudah mengutarakan niatnya pada mereka dengan alasan yang tidak masuk akal baginya.

“Kok Mama sama Papa ngizinin sih? Bukannya pengeluaran jadi tambah banyak? Mana ini lagi krismon, ‘kan?” protes Vio yang akhirnya kehilangan selera untuk sarapan.

“Yah, kalau dipikir sih, cuma berat di awal aja. SPP-nya separuh dari yang sekarang. Biaya masuknya juga nggak semahal kemarin.” Mama menjawab sambil menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ke toko, sementara Papa mulai membuka pintu toko peracangan yang berada tepat di samping rumah.

“Tetap rugi ‘kan! Kita udah keluar banyak! Mama sendiri sering ngeluh kalau toko sepi karena harga barang-barang naik. Pengeluaran banyak tapi pemasukan sedikit!” Vio masih tidak terima. Matanya melirik tajam pada Ella yang sudah selesai sarapan dan hendak mencuci piring.

Bagaimana bisa mamanya berpikir seperti itu? Dirinya memang tidak menyukai pelajaran Matematika yang berkutat dengan angka. Dia juga tidak sepintar Ella. Namun, bukan berarti dia bodoh dan tidak bisa menghitung untung rugi.

“Udah, nggak apa-apa. Habisin sarapanmu lalu berangkat. Nanti telat. Mama Papa ke toko dulu.” Mama kemudian berlalu meninggalkan kedua putrinya yang kini saling bertatapan.

Vio menatap Ella penuh kebencian. Lagi-lagi ketidakadilan berpihak padanya. Mengapa semua hal buruk harus terjadi padanya? Mengapa dia harus terus-menerus menerima perlakuan yang tidak adil dan pilih kasih dari orang tuanya? Apakah tidak cukup dirinya dipaksa tinggal di tempat lain saat usianya masih sangat muda? Kenangan pahit masa kecil itu masih terus muncul tanpa mampu dia kendalikan. Menciptakan lubang kehampaan di hatinya.

Apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada. Kedua orang tuanya sama sekali tidak mengerti. Apa pun yang dia katakan, tidak pernah mendapat pembelaan. Saudara sedarah yang seharusnya senasib sepenanggungan, ternyata tidak berguna dan justru menjadi sumber masalahnya.

Tanpa berkata apa-apa, Vio berangkat sekolah lebih dulu. Meninggalkan Ella yang harus membereskan tugas bagiannya. Ada satu tempat yang ingin dia tuju, yaitu rumah sahabatnya, Mesya. Dia ingin memberi kejutan dengan menjemputnya.

Vio berharap, bisa menumpahkan isi hatinya dalam perjalanan ke sekolah, sebelum mulai menerima pelajaran. Sayangnya, harapan itu pupus saat asisten rumah Mesya berkata, “Oh, Mesya udah berangkat tadi.”

Ah, salahku juga sih nggak kasih kabar dulu, pikir Vio. Dia kemudian memacu sepedanya ke arah sekolah.

Di tengah perjalanan, tampak Ella sudah menyusul Vio. Dua sepeda itu bertemu di satu titik persimpangan tanpa berhenti dan tanpa sapaan, melainkan terus melaju hingga tiba di sekolah.

Buru-buru Vio ke kelas dan mendapati bangku Mesya yang masih kosong. “Katanya udah berangkat. Harusnya udah dateng sih,” gumamnya heran. Dia pun keluar untuk mencarinya.

Selama beberapa menit Vio berlarian di koridor, toilet, perpustakaan, ruang guru, bahkan kantin. Dia malah bertemu dengan musuh sedarahnya yang hendak membuka mulut, tapi tidak dihiraukan.

Vio terus saja mencari Mesya ke mana-mana, hingga kemudian menemukan gadis dengan rambut lurus sebahu itu muncul dari halaman sekolah. Dia tidak sendirian, melainkan bersama tiga gadis lain yang punya reputasi buruk di sekolah, Yuna, Amy, dan Indri. Mereka tampak akrab dan saling bercanda.

Lihat selengkapnya