Perhatian Vio teralihkan dari kaca jendela yang menghadap langsung ke toko. Suara yang memanggil namanya berasal dari pintu depan. Kemudian, dilihatnya Ella masuk ke ruang tengah dan menghampiri dirinya yang sedang menelepon di ruang tengah.
“Tunggu bentar, Mey,” ucapnya lalu memiringkan gagang telepon ke bahunya.
Ella diam sebentar sambil menautkan alis, tanda keheranan. “Mey?”
“Kenapa?” tanya Vio.
“Jangan lama-lama teleponnya. Papa mau pakai katanya.” Ella menjawab sambil menatap penuh arti pada gagang telepon berwarna putih di tangan Vio.
“Masa?” Vio celingukan di jendela mencari-cari sosok yang dimaksud sang adik. “Mana? Papa nggak ada tuh.”
“Di depan. Tadi pas aku masuk, Papa yang bilang gitu.”
“Aku belum selesai.”
Ella pun mengangkat bahu sambil berkata, “Terserah. Yang penting aku udah ngomong.” Dia lalu pergi ke kamar di ujung ruangan.
Bibir Vio cemberut sambil menirukan gerak bibir orang mengomel lalu kembali menelepon. “Eh, sori, Mey, ada iklan lewat. Sampai mana tadi? Oh, iya, itu—”
“VIO! Teleponnya udah belum?!” Papa tiba-tiba muncul di depan jendela.
Vio yang terkejut langsung gelagapan. “Udah dulu, Mey. Teleponnya mau dipakai. Daaah!”
Telepon pun ditutup dan Papa langsung menyambarnya dari kusen jendela. “Dasar kamu ini, nggak pernah nurut sama orang tua. Tadi Ella udah bilang, ‘kan?”
Untuk kesekian kali dirinya mendapat perlakuan berbeda, jantung Vio seakan merosot ke bawah. Hal sepele seperti ini selalu dibesar-besarkan, seakan-akan kesalahannya sangat fatal dan dianggap pembuat onar. Biang keributan dan tidak tahu aturan. Sangat berbanding terbalik jika itu terjadi pada Ella.
Vio mungkin tampak keras kepala dan suka membantah. Padahal yang dia lakukan hanya mengutarakan pendapatnya, isi kepalanya, agar orang lain bisa sedikit memahaminya. Terutama orang tuanya, yang selama ini Vio anggap tidak pernah membelanya. Apalagi memahami sikapnya. Bukankah ada alasan mengapa dia menjadi seperti ini?
Hela napas panjang Vio mengakhiri berbagai pertanyaan tanpa jawab di kepalanya. Langkahnya gontai menuju kamar dan menemukan sang adik sedang membereskan sesuatu.
Buku-buku yang berserakan di meja dan seragam baru yang terlipat rapi di kasur menjadi perhatian Vio. Sambil terus mengamati Ella yang sedang memasukkan buku dan peralatan tulis di tas, dia bersandar pada kusen pintu.
“Enak, ya, jadi anak emas, anak kesayangan. Apa-apa dibela, apa-apa dituruti.” Vio berkata dengan sinis.
Ella menatap Vio sekilas lalu mengecek isi tasnya sekali lagi. Alih-alih meladeni sindiran kakaknya, dia malah bertanya, “Dimarahi Papa?”