Rava memutar-mutar pulpen di tangannya sambil menatap lurus ke papan tulis yang berisi catatan pelajaran sebelumnya. Bukan karena menghafal atau mempelajarinya. Tatapannya itu sepenuhnya kosong. Sebaliknya, kepalanya terasa begitu penuh. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya sejak kemarin lusa.
Rasa penasaran Rava beberapa waktu lalu memang sudah terjawab. Alih-alih merasa lega, dia justru merasa ada sesuatu yang salah. Seolah telah menemukan kepingan puzzle yang hilang, tapi bukan kepingan yang tepat untuk mengisi celah yang kosong.
Rava sangat yakin gadis yang pernah dilihatnya sekilas di depan ruang TU dan gadis yang tanpa sengaja tertabrak olehnya adalah orang yang sama. Dia sudah menemukannya. Mereka bahkan sudah berkenalan. Andai sang ayah tidak mengiriminya pesan lewat pager, dia tidak akan tergesa-gesa menelepon dan bertemu dengannya. Kartu telepon yang ketinggalan adalah kuncinya.
Rava ingat betul ucapannya pada gadis itu. Setelah menyelesaikan pembicaraan dengan ayahnya, dia berlarian mengelilingi halaman SMK kejuruan khusus mesin itu untuk mencarinya dan ketemu.
Bagi Rava, reaksi pemilik kartu telepon yang keheranan saat bertemu dengannya saat itu cukup wajar. Apalagi suasana di luar gedung tidak terlalu terang dan si gadis buru-buru pergi setelah meminta maaf. Mungkin dia tidak benar-benar melihat dirinya atau terlalu fokus dengan pikirannya sendiri. Akan tetapi, sangat sulit bagi Rava untuk tidak mengenalinya.
“Ini. Tadi ketinggalan di boks telepon.” Dengan penuh percaya diri Rava menyodorkan kartu telepon dengan stiker lucu di ujungnya.
Sayangnya, imajinasi Rava bahwa gadis itu akan senang dengan pemberiannya tidak terwujud. Kartu telepon, apalagi dengan jumlah waktu yang masih banyak itu cukup berharga bagi seorang pelajar SMA. Jadi, menemukan benda yang tertinggal, seharusnya dia sangat berterima kasih dan senang, ‘kan?
“Sendirian?” Mengabaikan kegelisahannya, Rava melanjutkan.
Bisa Rava lihat gadis dengan rambut tergerai dan bando lebar hendak menjawab pertanyaannya. Namun, munculnya sosok berambut keriting dengan jaket kulit dan kalung mirip rockstar mengurungkannya.
Dengan santai sosok itu menepuk bahunya dan berkata, “Rava! Gua cariin lu malah di sini! Habis ini kita yang tampil!”
Rava mendengkus pelan karena Jose muncul di waktu yang tidak tepat. Dia pun menjawab, “Oh, eh, iya, bentar la—”
“Eh, siapa ini, Rav?” Tiba-tiba saja pandangan Jose teralihkan. Sahabatnya itu baru menyadari ada sosok lain yang bersamanya. Tentu dengan adegan menyikut pinggangnya hingga terasa ngilu dan ocehan tanpa disaring lebih dulu. “Kok nggak bilang-bilang kalau lu udah ada cewek? Cantik pula!”
“Hush! Bukan!” Rava balas menyikut dan menginjak kaki Jose. Wajahnya seketika memanas karena menahan malu.
Tiba-tiba saja pemuda keriting itu mengulurkan tangan. “Kenalin, aku Jose. Dia Rava.”
Pandangan gadis itu bergantian tertuju pada Rava dan Jose. Dia lalu tersenyum dan menyambut uluran tangan Jose, kemudian Rava sambil menyebutkan namanya, “Vio.”
Rava masih menatap Vio tanpa berkedip. Namun, teguran Jose agar mereka segera ke belakang panggung, menyadarkannya. Mereka pun lantas berpamitan pada Vio.
“Lihat penampilan kami, ya! Pasti nggak kecewa! Dia ini jago!” Jose mempromosikan Rava sebelum pergi.
Sayangnya, saat Rava memetik senar memulai intro, gadis itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Sekilas dilihatnya pintu ruangan terbuka dan siluet berambut panjang itu keluar.