Vio memperhatikan Ella yang sedang menyisir rambut di depan cermin. Tampak seragam yang dikenakan sang adik berbeda dari miliknya. Sekarang, adik satu-satunya itu bukan lagi murid SMA swasta bersamanya, melainkan sudah menjadi murid SMA Negeri yang lokasinya sedikit lebih jauh dari rumah. Bahkan berlawanan arah dari sekolahnya yang lama.
Otomatis, mereka tidak bisa berangkat bersama-sama. Vio juga tidak bisa lagi mengomentari apa pun yang dilakukan Ella. Tidak bisa lagi mengawasi dengan mata elangnya. Seperti yang dilakukannya selama ini. Adiknya itu sudah bebas. Namun, tetap saja, rasanya Vio masih belum rela dan belum ingin menerima kenyataan yang sudah terjadi ini.
Ella sudah selesai menyisir dan mulai membuat gelungan rambut seperti biasanya. Gaya rambut yang seperti itu adalah ciri khasnya. Penampilan yang membuat perbedaan mencolok di antara mereka.
Sering kali Vio merasa kesal melihat penampilan Ella seperti anak yang tidak pernah mengurus dirinya. Bisa jadi orang lain akan mengira jika orang tua atau keluarga menelantarkannya. Padahal keduanya dikaruniai kecantikan yang sama yang seharusnya bisa menjadi daya tarik mereka.
Vio sendiri tidak pernah mempermasalahkan kemiripannya dengan Ella. Dia sudah cukup puas dengan dirinya sendiri. Pujian yang sering dia terima dari teman-teman dan sekitarnya membuat rasa percaya dirinya tinggi. Bahkan gosip yang pernah menyerangnya waktu itu, sudah tidak terdengar lagi. Siapa pun tentu tidak akan percaya pada para berandalan itu.
Dengkusan kecil Vio terdengar hingga Ella menoleh, tapi tidak berkata apa-apa. Dia sudah selesai menata rambut dan berdiri.
“El, tunggu.” Vio bergegas menghampiri. Dua tangannya menekan bahu sang adik dan menyuruhnya duduk kembali menghadap cermin.
“Apa sih, Kak? Aku mau berangkat sekarang,” protes Ella.
“Sebentar aja. Tunggu dulu. Diem dulu.” Vio mengambil beberapa benda dari mejanya lalu kembali berdiri di belakang Ella.
“Kak! Kok dilepas sih?” Sontak Ella mendongak dan meraba kepalanya. Gelungan rambut yang sudah rapi itu, dilepas oleh Vio.
“Aku bosan lihat kau selalu gelung rambut. Sekali-sekali dandan yang cantik. Rambut udah bagus, sayang kalau nggak dipamerin.” Vio tidak menghiraukan protes adiknya dan tetap melakukan yang diinginkannya.
Tangan Vio cekatan menyisir ulang rambut Ella, menyisihkan sebagian kecil rambut di samping kanan dan kiri lalu mengikatnya dengan karet kecil. Dia juga memasangkan jepit imut berbentuk stroberi berkilau miliknya pada dua ikatan rambut itu. Untuk sentuhan terakhir, poni Ella yang sudah agak panjang dibentuk dengan sisir bulat agar terlihat melengkung.
“Nah, udah. Gini ‘kan cantik,” puji Vio sambil tersenyum menatap pantulan dua wajah yang sama di cermin.
Wajah Ella berubah cemberut. “Aku nggak suka diginin. Gerah!” katanya.
“Potong aja kalau gitu. Percuma panjang kalau digelung terus.” Vio berkata tegas sambil berkacak pinggang.
Bibir Ella masih mengerucut kesal, tapi tidak ada waktu untuk menatanya lagi. Dia lalu keluar dari kamar sambil mengomel, “Ah, gara-gara Kak Vio, jadwal berangkatku jadi molor. Semoga nggak telat.”
Vio merasa puas bisa menjahili adiknya yang langsung melesat pergi. Samar-samar terdengar seruan, “Ma, Pa! Ella berangkat!”
Senyumnya terus mengembang dan bertahan cukup lama. Mesya pun jadi penasaran karena jarang sekali wajah Vio terlihat begitu bahagia.