“Rav, lu udah denger berita?” Jose buru-buru bertanya setelah berlari menyeberangi lapangan menuju teras kelasnya.
Rava yang memang tidak ingin ke mana-mana di jam istirahat kedua ini hanya duduk-duduk saja di sana. Di depan masing-masing kelas tiga yang menghadap lapangan memang tersedia bangku beton yang menempel di dinding, berdekatan dengan jendela lebar yang terbuka.
“Berita apa?” Dua alis Rava terangkat.
“Ada anak baru di kelas dua. Heboh banget di kop tadi. Ah, coba lu tadi ikut ke sana. Semua anak ngomongin dia. Katanya cantik banget kayak artis Hongkong.” Jose bercerita dengan semangat tanpa jeda hingga napasnya terengah di ujung kalimat. Dia pun segera mengambil napas panjang dan membuangnya cepat.
“Terus?”
“Kalau dari yang gua denger, ciri-cirinya persis kayak yang kita ketemu, eh kayak yang lu maksud. Ah, gua jadi bingung sendiri.” Jose menggaruk-garuk rambutnya yang keriting hingga jadi makin keriting. “Tadi sekilas kayak lihat cewek itu sih di kop. Makanya gua buru-buru ke sini kasih tahu elu.”
“Yakin lu?” Rava jadi bersemangat, tapi kemudian berubah heran. “Dia sekolah di sini?”
“Baru pindah. Ini hari pertamanya masuk.”
“Di kelas mana dia?”
Belum sempat Jose menjawab, terdengar teriakan dari arah samping. “Joseeeee!”
Gadis yang hari ini dikuncir ekor kuda itu sedang berlari ke arah Rava dan Jose. Wajahnya tampak marah. “Jose! Tunggu di sana! Jangan kabur!”
Jose mendadak panik melihatnya. Dia menarik tangan Rava agar berdiri dan ikut lari bersamanya.
“Ayo, Rav! Lari, Rav! Buruan! Cepet!”
Rava yang bingung dengan tingkah sahabatnya semakin bingung saat Poppy juga berteriak padanya, “Rava! Jangan lepasin Jose! Jangan biarin dia pergi! Tahan dia, Rav!”
Wajah Jose yang pucat dan berkeringat dingin berusaha kabur dari kejaran Poppy dengan menarik Rava bersamanya. Belum sempat Rava mengatur langkah dengan benar, dia kembali melihat gelungan rambut berantakan yang familier tiba-tiba lewat di depannya. Nyaris menabrak dirinya. Lagi.
“Ah, maaf, Kak.” Salah seorang dari dua gadis yang lewat itu meminta maaf, sementara yang satunya hanya mengangguk pelan.
“Oh, Lian.” Rava mengenali anak kelas dua yang bercita-cita menjadi model itu. Poppy pernah bercerita tentang pemilihan gadis sampul sebuah majalah remaja. Dia ingat wajah Lian muncul bersama para finalis lainnya di halaman yang ditunjukkan Poppy waktu itu.
“Iya, Kak. Kami mau ke perpus.” Lian menunjuk ruangan tepat di sebelah kelas III-IPA-3, kelas Rava.
“Oh, ya. Silakan aja.” Rava sedikit mundur memberi jalan.
Dua gadis itu pun lewat. Rava masih terus memandang mereka hingga masuk ke perpustakaan. Benaknya mencoba merangkai kejadian malam itu satu per satu.
“Nggak salah lagi! Itu dia!” Buru-buru Rava mendekat ke perpustakaan. Mengintip dari pintu lalu ke jendela yang berhadapan dengan musala.
Dari sana, Rava bisa melihat Lian mengajak gadis itu berkeliling dari rak ke rak. Menunjuk beberapa koleksi buku populer yang sering dipinjam, termasuk dirinya yang pernah mencoba tertarik dengan buku sastra novel, walau tidak bertahan lama. Matanya tiba-tiba berat ketika hanya membaca satu paragraph saja. Sepertinya bahasa yang rumit bukan seleranya.
Diam-diam Rava terus mengamati gadis itu, tanpa peduli anak-anak yang istirahat di dalam musala cekikikan melihat tingkahnya. Beberapa turut berkomentar jika Rava naksir anak baru itu.
“Ih, Rava tahu aja kalau ada anak baru yang ca’em!”