“Dari mana?” Papa bertanya saat Vio memasuki toko. Pria itu sedang menghitung uang hasil penjualan hari ini.
“Dari rumah Sum,” jawab Vio sambil duduk di samping papanya. Dia lalu mengambil cermin dari laci meja dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.
“Udah makan, Vio?” Mama tiba-tiba muncul dari pintu penghubung rumah dan toko. Sepertinya baru selesai makan siang karena mulutnya masih mengunyah sesuatu. Beliau lalu menata barang-barang di sekitar.
Vio mengangguk. “Udah, di rumah Sum tadi. Nasi jagung, sayur lodeh, urap-urap, ikan teri, dadar jagung, sambal. Enak banget!”
Baik Mama maupun Papa tidak menjawab. Kemudian Vio berkata lagi, “Pa, Sum nanyain, kapan Papa ajak jalan-jalan lagi kayak dulu.”
Sambil tetap menghitung uang, Papa berdecak. “Jalan-jalan apa? Lagi krisis begini.”
“Ah, Sum sama keluarganya itu selalu gitu. Kalau ada maunya aja baik. Pas kita lagi susah, mereka nggak ada bantu sama sekali.” Mama menyahut kesal.
“Mereka juga kesusahan, Ma, makanya nggak bisa bantu.” Vio membela tetangga sekaligus temannya itu. Sewaktu masih kelas 5 SD, Papa dan Mama pernah mengajak Sum dan keluarganya bepergian. Hanya sekali saja. Kebetulan saat itu, sedang liburan sekolah. Hitung-hitung sebagai silaturahmi antar tetangga.
“Susah apanya? Kamu nggak tahu kalau mereka itu habis dapat warisan sawah dari eyangnya? Udah dijual dan dapat banyak uang. Mereka itu lebih kaya dari kita, Vio,” cetus Mama. Tangannya membersihkan debu yang menempel pada pakaiannya.
Bibir Vio mengerucut.
“Kamu jangan sering-sering lah main sama dia. Kita cuma dimanfaatin aja,” lanjut Mama. Tubuhnya yang mungil lincah berpindah dari satu rak barang ke rak lainnya.
“Nggak kok. Mereka itu baik. Tiap aku ke sana selalu disambut baik. Aku sering dikasih makan yang enak-enak. Terus, keluarga mereka itu harmonis. Rukun semua. Sering bercanda. Nggak kayak kita, seringnya berantem. Tapi yang disalahin aku terus.”
“Ngomong apa kamu, Vio? Sengaja ngelawan, ya?” Papa meletakkan dengan kasar bundelan uang yang sudah di hitung ke meja lalu menatap putri sulungnya dengan marah.
“Nah, itu. Hasil pergaulanmu sama Sum. Ngelawan terus, bantah terus. Nggak inget yang kasih makan kamu siapa?” Mama juga ikut kesal. “Kayak Ella tuh. Pulang sekolah langsung ke kamar, belajar, baik-baik di rumah. Nggak kayak kamu, keluyuran terus.”
Mendengar nama sang adik disebut, emosi Vio tersulut. Dia pun berdiri dan menghentak-hentakkan kakinya saat meninggalkan toko. “Ella terus! Ella terus! Yang baik-baik Ella. Aku jelek semua!” sungutnya.
Vio yang sudah teramat kesal tidak menghiraukan hardikan Papa dari toko dan terus masuk ke rumah. Samar-samar masih didengarnya adu mulut kedua orang tuanya yang saling menyalahkan, padahal masih ada asisten toko di sana. Kadang-kadang dirinya berpikir, apakah orang tuanya tidak merasa malu bertengkar di depan orang lain.
Dengan kesal, diambilnya sebuah botol kaca dari lemari es dan menenggak isinya langsung. Cairan bening nan dingin itu meluncur masuk ke kerongkongannya yang kering.
“Mau akur gimana kalau ortu sendiri aja sering berantem? Sering beda-bedain anaknya kayak gini?” keluh Vio. Dia tetap berdiri di depan lemari es yang terbuka, menikmati hawa dingin yang menguar dari sana. Berharap bisa menurunkan panas hatinya.
Sementara itu, sejak pulang sekolah tadi Ella langsung menuju kamar berukuran sedang yang bersebelahan dengan dapur. Selama ini dia memang berbagi kamar dengan kakaknya. Dua tempat tidur dengan posisi saling melintang ada di sudut dan masing-masing meja belajar ada di sampingnya.