Ekspresi Jose berubah-ubah saat mendengar penjelasan Rava. "Jadi, yang lu maksud selama ini namanya Ella? Bukan Vio yang kita temui itu? Terus, mereka itu kakak adik kayak kembar tapi bukan kembar?"
Rava mengangguk-angguk sebagai jawaban dari pertanyaan itu. Matanya beralih dari buku tulis dia putar-putar di jari tengahnya ke seberang lapangan yang ramai. Berharap menemukan sosok yang sedang mereka bicarakan.
“Wah! Pantesan kita lihatnya kayak sama tapi bukan. Ternyata memang beneran beda orang.” Jose tampak takjub. “Terus, lu mau deketin yang mana? Si adik atau kakaknya?”
Wajah Rava memerah mendapat pertanyaan konyol itu. Dia tidak menjawab, tapi juga tidak membantah. Tangannya berhenti memainkan buku dan meletakkannya di meja.
Jose mengartikan jika sahabatnya itu memang tertarik pada salah satu dari dua gadis itu. “Kalau menurut gua sih, lu sama kakaknya aja.”
“Alasannya?”
“Satu. Meski mirip, tapi menurut gua, si kakak lebih cantik.”
“Memang sih.” Rava mengangguk-angguk. Menurutnya, pada pandangan pertama, siapa pun akan mengatakan hal itu.
“Eh, ini di antara dua itu aja, ya. Poppy tetep nomor satu.” Jose buru-buru menambahkan. “Kedua. Kalau lu perhatiin, si adik itu kayak pendiam banget. Bisa dibayangin bakal susah diajak ngobrol. Ntar kalau nge-date, masa diem-dieman aja? Pandang-pandangan doang?”
“Lu tahu dari mana dia pendiam? Lu aja lihat dia cuma sekilas. Lagian mana bisa tahu sifat orang dari mukanya aja?” Entah mengapa Rava sedikit tersinggung mendengar penilaian sepihak itu.
“Ya, ini ‘kan menurut gua. Lu nggak setuju juga nggak apa-apa kok. Sensi amat sih jadi cowok?” Jose cemberut.
Rava diam dengan pandangan menerawang.
“Terserah lu deh, Rav. Semua ada plus minusnya. Si kakak memang lebih cantik, tapi lu nggak tahu apa-apa tentang dia. Eh, kecuali kalau lu bisa deketin adiknya buat cari info soal kakaknya? Mumpung dia ada di sini.”
Tangan Rava refleks menjitak kepala Jose yang langsung meringis.
“Lu kenapa sih, Rav?” protes Jose sambil mengelus-elus kepalanya yang sakit. “Dari tadi omongan gua kayak salah mulu di mata lu? Lagi dapet, ya?”
“Lu tuh yang salah!” Rava balas memprotes. “Seenaknya aja ngomong. Coba kalau gini. Gua deketin lu, baik-baik sama lu, biar gua bisa deket sama Poppy terus gua tembak dia? Mau lu?”
Wajah Jose terlihat panik. “Wah, jangan dong, Rav! Kalau gitu, lu nyakitin gua. Bohongin gua!”
Rava berdecak kesal. Baginya, penilaian sepihak atau tindakan yang disebutkan tadi, sama-sama tidak terpuji. Sama-sama menyakitkan. Rava sudah pernah mengalaminya dan tidak ingin mengulangnya kembali.