Setelah beberapa hari hatinya dipenuhi rasa gelisah, akhirnya Rava bisa kembali tersenyum. Tidurnya nyenyak, bahkan bermimpi indah. Tentu saja gadis itu ada di dalamnya. Percakapan terakhir mereka, menunjukkan hubungan yang akan terjalin akrab.
Rava masih ingat tersenyum malu-malu saat dirinya bertanya, “Masih boleh ketemu dan ngobrol kayak sekarang?”
Mungkin karena merasa tidak enak? Atau karena alasan lain? Apa pun itu, Rava tidak peduli. Yang penting baginya, perubahan sikap gadis cepol itu merupakan pertanda baik.
“Ah, itu dia baru datang juga,” gumam Rava yang baru saja memasuki gerbang sekolah.
Ella, gadis berambut cepol yang sudah lama menarik perhatiannya itu sudah selesai mengunci sepeda dan hendak berjalan, tapi tiba-tiba terdiam. Tangannya tampak merogoh tasnya dengan panik. Kepalanya pun celingukan dengan bingung. Sepertinya ada sesuatu yang tertinggal.
Rava terus memperhatikannya sambil mematikan mesin dan turun dari motor. Kemudian dia mendengar teguran keras di depan ruang TU dan guru.
“Hei, kamu! Yang rambutnya digelung! Sini!” Seorang guru laki-laki berseru sambil menunjuk Ella yang berusaha menyembunyikan diri di antara anak-anak lain yang berjalan ke kelas.
Ella menoleh ke sana ke mari, lalu bertanya gugup, “Sa-saya, Pak?”
“Iya, kamu! Siapa lagi yang rambutnya digelung?” Guru BP itu melambaikan tangan meminta Ella segera mendekat.
Mau tak mau Ella menghampiri pria yang biasa dipanggil Pak Dito itu. “A-ada apa, Pak?” tanya Ella.
“Kamu tahu ini hari apa?” tanya Pak Dito galak.
“Hari Jumat, Pak.”
“Seragamnya?”
“Pramuka, Pak.”
“Sudah lengkap semua?”
Ella menunduk lalu menggelengkan kepala. “Tidak, Pak. Saya lupa.”
“Kamu kira saya nggak lihat tadi? Berdiri di sana!” Pak Dito menunjuk tiang bendera.
Ella pun menuju tiang bendera dengan kepala menunduk diiringi tatapan tajam Pak Dito. Kemudian, pria berambut tipis itu tampak terkejut melihat Rava yang cengar-cengir di depannya. “Kamu juga nggak bawa? Kok bisa sih? Udah kelas tiga lho! Gimana mau jadi contoh buat adik-adik kelasmu?”
“Maaf, Pak. Tadi buru-buru soalnya, jadi ketinggalan deh.” Rava menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Pak Dito tidak bisa berkata-kata lagi selain menghembuskan napas kesal. “Ya, sudah! Sana, gabung sama dia!”
Rava mengangguk dan berjalan santai ke tiang bendera. Gadis yang berdiri di sisinya masih menundukkan kepala karena malu dan tidak menyadari kehadirannya. Pemuda itu jadi senyum-senyum sendiri karena tindakan konyol yang dilakukannya barusan. Terus terang, ini pertama kalinya dia melanggar peraturan sekolah. Tak heran, Pak Dito amat terkejut.
“Nggak bawa hasduk?” Rava bertanya pelan.