Nyaris terlambat ke sekolah karena Vio sepertinya sengaja tidak membangunkannya, Ella merasa kesal. Belum lagi dirinya mendapat hukuman karena tidak memakai hasduk. Berdiri di depan tiang bendera entah untuk berapa lama, sungguh memalukan.
Benar-benar awal hari yang buruk! keluhnya dalam hati.
Keluhan itu dengan segera berubah menjadi debar-debar aneh yang menyenangkan. Mengetahui Rava menemaninya, ah, lebih tepatnya, pemuda tampan itu juga tidak memakai hasduk seperti dirinya, ini tidak tampak seperti hukuman. Lagipula, membereskan dan membersihkan papan mading juga bukan hukuman yang berat. Membaca tulisan-tulisan di mading yang walaupun sudah pudar dan tulisannya sebagian menghilang, terasa menyenangkan.
Mungkin ini bisa disebut anugerah? Karunia? Berkat? Yang jelas, Ella merasa senang. Saat Aulia juga menghabiskan waktu bersamanya selama dua hari terakhir, Ella semakin yakin bahwa masa ini adalah masa terbaik sepanjang hidupnya. Apalagi Aulia juga memujinya karena banyak tersenyum dan tidak lagi murung.
“Nah, gitu dong. Kamu harus lebih pede,” katanya. “Kamu, ya kamu. Nggak usah peduliin yang lain.”
Ella mengangguk senang.
“Oh, ya. Sebelumnya, sori, ya, El. Kalau selama di sekolah aku nggak bisa selalu nemenin kamu. Anggap aja ini semacam ospek dari aku, biar kamu nggak tergantung sama aku terus. Tapi, bukan berarti aku keberatan, ya. Ini demi kebaikanmu sendiri, El.”
“Nggak apa-apa. Aku paham kok. Kamu udah banyak bantu aku selama ini.” Ella mengangguk lagi. Sudah cukup lama dia membebani sahabatnya itu dengan keluh-kesah tentang sang kakak. Wajar saja jika Aulia mungkin merasa bosan. Ella sendiri pun tidak menyukai dirinya yang seperti itu, hanya saja tidak berdaya untuk mengalihkannya.
Begitulah, Ella menganggap beberapa hari terakhir ini adalah yang terbaik sepanjang hidupnya. Perasaannya nyaman dan aman, seolah telah menemukan jati dirinya yang selama ini tertutup bayang-bayang sang kakak. Yang selama ini terkubur karena rasa rendah dirinya.
Jadi begini, ya rasanya jadi diri sendiri. Nggak perlu takut dikomentari macam-macam sama Kak Vio, pikirnya.
Ella tidak berani mengharapkan kebahagiaan lebih dari itu. Karena itu, meski mendapat tatapan sinis dari Vio sepulang sekolah, atau saat Vio seperti sengaja mencari gara-gara, dia berusaha tidak memedulikannya. Hari-hari ini terlalu indah untuk dirusak oleh hal-hal seperti itu.
Yang perlu Ella lakukan sekarang adalah menikmatinya. Menikmati kebebasan yang sudah lama tidak dia rasakan. Keinginannya lepas dari bayang-bayang sang kakak, kini terwujud. Tidak ada lagi yang membanding-bandingkan dirinya dengan Vio. Tidak ada lagi kalimat-kalimat “lebih cantik”, “lebih feminin”, yang terdengar. Seharusnya itu sudah cukup.
Nyatanya, masih ada kejutan yang menanti Ella. Seperti saat Rava yang tiba-tiba mengajaknya pergi. Cukup lama Ella berusaha mencerna dan memahami ucapan pemuda itu.
“Jadi, mau aku jemput atau ….” Rava menatap Ella meminta jawaban.
Ella bingung. Benar-benar bingung. Dia hanya menatap Rava sambil membuka dan menutup mulutnya. Rupanya cuaca siang hari yang panas itu mempengaruhi kecepatannya berpikir, sehingga tidak satu pun jawaban jelas yang keluar dari bibirnya.
“Mungkin kamu masih canggung kalau aku yang jemput. Jadi, kita langsung ketemu di sana aja, gimana?” usul Rava.