Ella turun dari motor dan bersiap menaiki sepedanya sendiri. “Makasih, ya,” ucapnya pada Rava yang masih berdiri di sampingnya, seolah menunggunya. “Kamu duluan aja.”
Rava menggeleng. “Aku temenin sekalian deh sampai rumah.”
“Aduh, nggak usah. Malah ngerepotin kamu. Arahnya ‘kan beda,” tolak Ella merasa tidak enak karena Rava sudah banyak membantunya.
“Aku yang mau kok.” Rava bersikeras.
Ella menatap pemuda itu tanpa berkedip. Yang ditatap jadi sedikit salah tingkah dan mengalihkan pandang ke arah lain.
“Terserah deh.” Jawaban Ella membuat Rava kembali tersenyum.
Mereka berdua kemudian meninggalkan sekolah yang telah sepi. Sambil mengayuh sepeda, sesekali Ella melirik pada Rava. Pemuda itu mengendarai motor dengan kecepatan yang sangat minim agar bisa sejajar dengan sepedanya.
Mau tak mau, Ella terkekeh dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ada-ada aja deh kamu.”
“Apanya?” tukas Rava sambil tetap menjaga posisinya. Dia tidak mau berada di depan atau di belakang sepeda Ella. Posisinya yang berada di sebelah luar jalan bertujuan untuk melindungi gadis itu. Apa pun bisa terjadi di jalan raya. Lebih baik mencegah daripada mengobati. Lebih baik melindungi daripada kenapa-kenapa. Begitulah yang ada di pikirannya.
“Kalau kayak gitu bukannya makin boros bensinnya?” tanya Ella lagi. Setahunya, mengendarai dengan kecepatan tidak normal, terlalu pelan atau terlalu cepat alias ngebut, lebih banyak membuang bahan bakar.
Rava tertawa. “Mungkin, ya. Eh, aku ada usul biar nggak boros.”
“Apa?”
“Gimana kalau mulai besok aku antar-jemput kamu? Dari rumah ke sekolah, dari sekolah ke rumah. Atau kalau kamu mau mampir ke mana, aku antar juga.”
Ella membelalakkan mata. Ide bodoh macam apa itu? pikirnya.
“Ide yang bagus, ‘kan?” Rava tersenyum jahil.
“Ngawur! Malah lebih boros lagi karena jaraknya jadi dobel!” seru Ella, yang kemudian tertawa.
Perjalanan pulang kali itu terasa menyenangkan bagi Ella. Entah karena angin sore yang berhembus cukup menyejukkan dan menyegarkan, atau karena ada Rava di sampingnya? Atau karena ucapan-ucapan pemuda itu menghiburnya sehingga bisa tertawa lepas seperti sekarang?
Ella menyadari, selama mengenal Rava dan menghabiskan waktu bersamanya, dia seperti menjadi pribadi yang baru. Mungkin lebih tepatnya, dia telah menemukan jati dirinya yang hilang, tenggelam dan terkubur dalam bayang-bayang sang kakak. Perasaan aman dan nyaman perlahan tumbuh di hatinya.
“Ah, itu rumahku.” Ella menunjuk rumah bercat hijau muda yang berada sepuluh meter di depannya. “Kamu balik aja, udah deket kok.”
“Tanggung, El. Biar tenang setelah lihat kamu masuk ke rumah nanti.”
“Kenapa memangnya?”