Ella memperhatikan setang sepedanya yang bengkok lalu menghembuskan napas panjang. Teringat tadi saat dia sedang sarapan, terdengar suara gedubrakan di luar dibarengi seruan, “Soriiii! Nggak sengaja!”
Rupanya sang kakak penyebabnya. Entah dia memang buru-buru dan tidak sengaja, atau … dengan sengaja merusaknya, mengingat hubungan mereka selama ini. Namun, Ella tidak ingin berprasangka dan menepis kemungkinan kedua itu.
Ella mencoba memperbaiki setang sepeda itu, tapi tidak berhasil sementara waktu terus bergulir. Tidak ingin terlambat, Ella pun memilih menggunakan transportasi lain, yaitu becak. Beruntung becak yang biasa dipakai tetangga seberang rumah baru saja lewat. Ella pun buru-buru mencegatnya dan langsung naik.
“SMA 1, ya, Pak.” Ella menyebutkan tujuannya dan becak itu pun melaju.
Jika dalam lagu anak-anak yang berjudul “Naik Becak” terdapat lirik “saya duduk sendiri sambil mengangkat kaki, melihat dengan asyik ke kanan dan ke kiri”, tidak demikian dengan Ella. Dia tidak punya waktu untuk melihat-lihat sekeliling. Lagipula dia sudah sering bersepeda melewati jalan ini, jadi tak perlu lagi untuk menikmati pemandangan.
Fokus Ella saat ini tertuju pada buku di pangkuannya. Membaca dan menghafal beberapa poin penting yang sudah ditandai dengan stabilo kuning terang, juga beberapa catatan tulisan tangannya. Ada ulangan di jam ketiga nanti dan dia belum selesai mempelajarinya.
Bukan karena Ella lupa. Bukan karena dia terlalu asyik bertelepon dengan Rava. Bukan itu. Selama ini Ella adalah anak yang bertanggung jawab. Dia tidak mungkin lalai melakukan kewajibannya hanya karena pacaran. Itu pun kalau hubungannya dengan Rava bisa dianggap pacaran. Yah, ini hanya menurut Ella pribadi. Toh, Rava tidak benar-benar jelas mengatakannya. Dirinya pun tidak menjawab dengan pasti. Jadi, bisa dipastikan hubungan mereka hanya sebatas teman saja.
Semalam Rava memang menelepon sesuai janjinya. Saat itu dia sedang berada di ruang tamu bersama Mama yang sedang menonton televisi. Sambil mempelajari bukunya, sesekali dia melirik telepon di ruang tengah yang tidak kunjung berdering.
Pukul delapan lewat sedikit penantian Ella berakhir. Ketika benda itu berdering, dia langsung melompat dari duduknya.
Entah kebetulan atau tidak, Vio keluar dari kamar dan langsung mengangkat telepon itu, bahkan sebelum Ella beranjak dari duduknya.
“Halo?” Vio menyapa sambil memberi isyarat diam pada Ella yang melotot padanya.
Ella tidak bisa mengatakan jika dia memang menunggu telepon karena Vio pasti mengajukan banyak pertanyaan. Karena itu, dia berdiri dengan gugup di samping meja telepon. Berharap-harap cemas apakah Vio mengenali suara penelepon itu atau tidak.
“Ella? Dari siapa, ya?” Vio menatap Ella dengan senyum penuh arti yang membuat adiknya itu panik dan kian panik ketika mendengar kalimat Vio selanjutnya. “Rava? Oh, hai, Rava. Apa kabar? Bener-bener pucuk dicinta, ulam pun tiba. Baru aja aku memikirkan, kapan ya kita bisa ngobrol lagi kayak waktu itu, eh kamunya telepon.”
Ella melongo. Rava pernah menelepon lagi sebelum ini? Obrolan apa yang dimaksud kakaknya?
“Oh, iya, iya. Ini Ella-nya baru keluar dari kamar. Oke deh, kapan-kapan ngobrol lagi, ya, Rav.” Vio menyerahkan gagang telepon pada Ella. “Dia asyik, ya, orangnya,” ujar Vio sebelum pergi sambil mengedipkan sebelah mata.
Jantung Ella sudah tidak keruan. Kepalanya dipenuhi pikiran macam-macam. Rava mengobrol apa dengan Vio tanpa sepengetahuannya? Mengapa Rava tidak pernah mengatakan hal itu sebelumnya? Apa yang mereka sembunyikan?