Rava memandangi brosur-brosur di tangannya. Di waktu-waktu ini, beberapa kampus mulai menyebarkan brosur ke sekolah-sekolah untuk menarik minat calon mahasiswa. Termasuk di sekolahnya.
Tadi Pak Dito sempat memanggilnya ke ruang guru dan bertanya tentang rencananya. Dari sekian banyak murid kelas tiga, hanya Rava yang belum mendatanginya untuk berkonsultasi.
“Sayang, lho, Rav, kalau nggak diambil. Bapak tahu kamu cukup pintar dan bisa ambil jalur prestasi, tapi harus cepat. Harus ikut gelombang pertama,” jelas Pak Dito. “Apa yang membuat kamu belum memutuskan? Kalau ada kesulitan, mungkin Bapak bisa bantu memberi pertimbangan.”
Rava menggeleng dan tersenyum. “Nggak, Pak.”
“Bapak bisa beri surat rekomendasi kalau diperlukan karena sikap dan prestasimu selama ini baik. Nggak pernah melanggar aturan, ah, kecuali sekali yang waktu itu. Saya sampai heran lho.” Pak Dito menggeleng-gelengkan kepalanya.
Rava terkekeh. Tidak membawa hasduk saat itu adalah pelanggaran pertama dan satu-satunya yang pernah dia lakukan. Dan dia bersyukur untuk itu.
“Yah, pokoknya, Bapak ada di sini kalau kamu masih bingung.”
“Baik, Pak. Terima kasih. Saya pikirkan lagi soal ini.” Hanya itu yang Rava katakan sebelum pergi.
Sekarang, kepala Rava pusing. Pikirannya kusut. Beberapa kali dia mengusap wajahnya dengan kasar. Jose yang duduk di sebelahnya jadi heran.
“Kusut amat, Rav,” ujarnya. “Oh, tadi dipanggil Pak Dito ngapain? Dihukum lagi?”
Rava menggeleng. “Biasalah, nasib anak kelas tiga.”
Jose mengangguk-angguk paham. “Jadi, sampai sekarang lu belum mutusin mau ke mana? Selama ini gua pikir lu kelihatan santai, udah ketemu jawabannya.”
“Belum lah. Ebes sih masih maksain buat kuliah, cuma gua kok nggak tega. Bisa jadi gua langsung kerja aja, Jo. Nabung dulu. Nanti kalau udah ada niat, mungkin ambil diploma aja yang cepet.”
Jose tampak prihatin. Sebagai teman dekat sejak SD, dia melihat sendiri bagaimana keluarga Rava yang semula harmonis dan baik-baik saja, menjadi berantakan dalam sekejap. Om Krisna, begitu Jose memanggilnya, mengalami kecelakaan kerja dan membuat salah satu kakinya tidak berfungsi. Dia juga harus kehilangan pekerjaan dan istrinya. Tante Iona pergi meninggalkan ayah dan anak itu dalam kondisi terpuruk.
Berita tidak menyenangkan beredar setelah itu. Para warga mengembangkan kisah sendiri tentang keluarga Rava, terlepas itu benar atau tidak. Sering kali dibumbui hal-hal yang tidak masuk akal. Katanya, wanita itu pergi dengan PIL-nya karena tidak mau memiliki suami cacat yang tidak bisa memberinya nafkah lahir dan batin. Kabar lainnya lagi, Papa Rava menghamili wanita lain yang menuntut untuk dinikahi. Akibatnya, pria itu tidak bisa fokus bekerja dan terjadilah kecelakaan itu. Parahnya lagi, Rava juga dianggap bukan anak kandung mereka.
Dan dari semua berita itu, tidak ada satu pun yang Jose percayai. Meskipun saat itu dirinya masih remaja dan tidak terlalu mengikuti atau memahami berita-berita yang mirip sinetron di televisi, Jose tahu sahabatnya itu sedang dalam kesusahan.
Papa Rava juga telah mencoba segala cara untuk mencari pekerjaan dengan kondisi fisiknya yang tidak seperti semula. Rava yang masih duduk di bangku SMP juga harus mencari uang saku sendiri dengan menyewakan buku dan komik yang dia miliki ke teman-teman sekitar. Dia juga sempat mengamen di bus antar kota dengan gitar pemberian ibunya saat ulang tahunnya yang ke sepuluh.
Menyaksikan sendiri bagaimana usaha yang dilakukan Rava dan papanya untuk bertahan hidup, membuat Jose berempati. Namun, sahabatnya itu akan selalu menolak segala bantuan materi yang dia tawarkan. Tidak ingin berutang budi, katanya. Satu-satunya yang bisa Jose lakukan saat itu adalah bersikap seperti biasanya karena Rava tidak ingin dan tidak suka dikasihani.
Beruntung rekan Papa Rava semasa kerja mempertemukannya dengan seorang kerabat yang hendak membuka usaha kantin di pabrik. Kemampuan memasaknya memang diakui rekan-rekannya, karena beliau lebih sering membawa bekal makanan sendiri dan membaginya pada mereka. Kondisinya yang terbatas tidak menghalangi atau menyurutkan semangatnya untuk bekerja.