Rava menyeruput air mineral yang dibelinya dari warung berjarak seratus meter dari rumahnya. Dia sengaja menunda kepulangannya karena kedatangan wanita itu.
“Kenapa tiba-tiba datang? Setelah selama ini?” gumamnya dengan dahi mengernyit. Sambil duduk di warung, dia mengamati mobil merah yang sudah cukup lama terparkir di sana. Sesekali dia menggaruk lengan atau lehernya yang menjadi mangsa nyamuk.
“Lama banget sih?” keluhnya sambil menepuk nyamuk yang hinggap di pahanya. Namun, Rava juga penasaran apa yang mereka bicarakan.
Langit sudah beranjak gelap ketika dua bayangan keluar dari rumah dan mendekati mobil. Mendadak Rava berdiri tegak. Matanya membelalak karena kaget. Dua bayangan itu terlihat saling berpelukan cukup lama. Salah satunya kemudian memasuki mobil, sementara yang di luar melambaikan tangan ketika lampu belakang mobil menyala. Beberapa detik kemudian, kendaraan itu melaju hingga hilang dari pandangan.
“Apa-apaan itu tadi?” Dada Rava bergemuruh. Perasaan benci yang sudah lama dia pendam, kini mencuat. Tangannya mengepal di samping badan, merasa tidak terima karena begitu mudahnya dia pergi, segampang itu pula dia kembali.
Ah, sebenarnya Rava tidak begitu memahami perasaannya sekarang. Jika dibilang benci, mengapa dia merindukan sosok itu kembali hadir dalam hidupnya? Jika disebut cinta, mengapa hatinya masih terasa sakit mengingat perbuatan wanita itu pada ayahnya, pada dirinya, pada mereka?
Terus terang saja, ketika melihat wanita itu turun dari mobil, meskipun terkejut untuk sesaat, ada perasaan aneh yang muncul. Rindu, tapi menyakitkan. Cinta, sekaligus benci. Keberadaan wanita itu selama beberapa waktu di dalam rumah bersama ayahnya, semakin membingungkannya.
Setelah tercenung beberapa saat, Rava akhirnya pulang karena tidak tahan digigiti nyamuk. Juga karena ayahnya pasti bertanya-tanya tentang keterlambatannya. Dia tidak ingin pria yang sudah melalui banyak hal bersamanya terlalu khawatir.
“Baru pulang, Rav?” sambut Krisna begitu Rava muncul.
“Iya, Pa. Maaf telat.” Rava membalas sambil meletakkan tas di rak dekat dinding. Pada saat itu dia melihat amplop cokelat di sana. “Apa ini, Pa?” tanyanya heran.
Krisna menatap putranya lalu berkata, “Duduk dulu, Rav. Ah, kamu sudah makan? Mungkin kita bisa makan du—"
“Formulir universitas?” Rava memotong ucapan Krisna sambil menunjukkan beberapa lembar kertas di tangannya. Tatapannya kini tertuju pada sang ayah.
Krisna terlihat menghela napas. Mungkin rencananya ingin mengobrol santai dengan putranya tentang hal itu tidak bisa terwujud. “Bisa duduk dulu, Rav?” katanya sambil menunjuk kursi.
Rava pun duduk. Namun, matanya mengamati formulir pendaftaran di salah satu universitas ternama yang sudah terisi. Nama dan data dirinya yang lain tercantum di sana.
“Wanita itu datang untuk ini?” tanya Rava datar. Rahangnya mengeras menahan gejolak di dalam dada.
Krisna terkejut, tapi bisa mengendalikan diri, lalu menjawab, ”Dia mamamu, Rav. Panggil dia dengan sopan.”