“Semua gara-gara kau! Kalau saja kau nggak lahir ….”
Vio tahu kalimat yang dia ucapkan itu amat kejam. Dirinya sering membayangkan jika Ella tidak ada. Jika Ella tidak pernah terlahir, mungkin kehidupan yang dia jalani akan berbeda, sangat jauh berbeda. Kehidupannya akan terasa menyenangkan, menerima semua kasih sayang Mama dan Papa. Sekali pun harus menghabiskan waktu seharian di rumah Pak Nan.
Ketika tatap mata Vio bertemu dengan Rava di depan rumah, benaknya pun berpikir liar. Jika Ella tidak pernah ada, pemuda tampan itu akan “melihat”-nya. Rasanya akan sangat menyenangkan jika semua perhatian yang Ella peroleh selama ini tertuju padanya.
Vio memperhatikan keadaan di luar rumah sudah terkendali. Sepertinya Pak Nan yang mengurusnya tadi sambil menyingkirkan benda yang telah melukai tangannya.
“Rava.” Vio memanggil nama itu dengan lirih.
Rava yang terkejut melihat bercak merah di lengan Vio, segera menghampiri dengan cemas. “Vio? Kenapa … itu …?”
Vio mulai meneteskan air mata dan menangis, kemudian menjatuhkan tubuhnya di dada pemuda itu. “Bawa aku pergi, Rav …,” pintanya sambil terisak.
Rava masih berdiri canggung. Kedua tangannya tampak kaku di samping badan. Wajahnya terlihat bingung.
“Aku cuma butuh tempat dan waktu untuk menenangkan diri,” ujar Vio saat Rava masih mematung. Sejujurnya, hati Vio juga terasa sakit, merasa tidak seorang pun yang peduli padanya. Bahkan setelah mengetahui dirinya terluka, pemuda itu tidak melihatnya sama sekali.
Vio melepas pelukannya dari tubuh Rava. “Kamu mau biarin aku kehabisan darah di sini?” tanyanya sambil menunjuk lengannya.
Rava kemudian tersadar dan mengangguk. “Aku antar kamu ke rumah sakit,” katanya sambil menyerahkan helm.
Sebelum melaju, tatapan Rava bertabrakan dengan Ella yang berada di depan pintu. Gadis itu memandangnya tanpa berkedip. Dia pasti telah melihat dan mendengar semuanya.
Rava menghadapi pilihan sulit. Keputusan yang dia buat saat ini akan melukai hati Ella. Namun, membiarkan seorang gadis terluka dan membutuhkan pertolongan juga bukan hal yang baik.
Rava mencoba menepis segala kemungkinan yang akan terjadi nanti. Yang penting sekarang adalah membawa Vio ke rumah sakit. Akan ada waktunya nanti dia memberi penjelasan pada Ella. Bahwa yang terlihat bukanlah sebenarnya. Bahwa dia harus mengutamakan kewajibannya sebagai manusia lebih dulu. Bahwa dia …. Ah, berbagai alasan itu, akankah bisa diterima?
Tatap Rava jatuh pada gadis yang duduk di kursi taman rumah sakit. Lengannya sudah berbalut perban, sementara pandangan gadis itu tampak menerawang jauh.
Dengan memegang sebotol air mineral, Rava menghampiri Vio. Kemudian disodorkannya botol plastik itu lalu ikut duduk di sana dengan jarak satu meter.
Vio lantas tertawa kecil. “Kenapa? Takut sama aku? Atau takut Ella marah?”