Selama beberapa saat Rava mematung di depan pintu, sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu. Dia baru saja mengantar Vio dan gadis itu sudah masuk ke dalam. Walau sangat tipis, dia berharap pintu itu akan terbuka lagi dan sosok yang selalu ada dalam pikirannya akan muncul.
Banyak yang harus Rava katakan pada gadis itu. Untuk meluruskan kesalahpahaman akan tindakan yang dilakukannya tadi.
Jika Rava mempunyai keberanian, tentu dia akan mengetuk pintu itu untuk menemuinya. Atau bahkan, sudah sejak awal dia menyatakan perasaannya. Namun, ganjalan yang terbentuk sejak kepergian ibunya, masih tersimpan di dalam hati. Itu sebabnya dia tidak bisa menjawab pertanyaan Vio tadi.
“Kamu pacaran sama Ella? Kamu suka dia?”
Rava mengusap wajahnya dengan kasar lalu meninggalkan tempat itu.
Ya, sejak awal aku tertarik padanya! Aku memang menyukainya! Mengapa kalimat itu tidak bisa dia ucapkan dengan lantang? Rava menjadi gusar sendiri karena merasa telah mempermainkan hati gadis itu.
Tidak! tidak! Dia tidak berniat mempermainkannya. Sama sekali tidak. Dia hanya butuh waktu untuk mengatasi masalahnya sendiri. Ketakutannya akan kehilangan membuatnya tidak bisa melangkah maju dan hanya diam di tempat.
Rava langsung memasuki kamar begitu tiba di rumah. Krisna yang sedang menyiapkan makan malam terheran karena tingkah putranya itu tidak seperti biasanya.
Krisna segera menyelesaikan pekerjaannya lalu mendatangi kamar Rava yang terbuka. Pemuda yang kini berusia hampir 19 tahun itu tengah duduk di lantai kamar. Tubuhnya bersandar ke dipan dengan kepala menunduk menyentuh lutut. Di sekitarnya berserakan foto-foto masa kecil Rava hingga remaja sebelum peristiwa itu terjadi. Semua foto-foto itu memancarkan kebahagiaan.
Di antara lembaran memori itu, Krisna melihat amplop cokelat dengan beberapa kertas di dalamnya juga ikut berserak. Seingatnya, dia meletakkan pemberian istrinya itu di meja belajar Rava. Mengetahui benda itu ada di sana, termasuk pintu lemari yang terbuka dan menampakkan gitar yang berdiri kokoh, Krisna merasa Rava sedang mengalami pergumulan berat.
Krisna mendekat dengan perlahan, lalu duduk di tempat tidur. Dipungutnya selembar foto yang menampilkan foto Rava kecil dan ibunya sedang menaiki seekor gajah di taman wisata. Senyum kemudian mengembang di wajah Krisna.
Dengan sedikit membungkuk, Krisna menyodorkan foto itu di dekat Rava sambil berkata, “Rava, kamu ingat ini? Waktu itu kamu merengek-rengek minta naik gajah, padahal mamamu ketakutan. Tapi, akhirnya dia tetap ikut dan senyumnya itu ….” Krisna terkekeh. “Senyum ketakutan. Pulangnya, dia mengomel panjang lebar tentang eksploitasi hewan.”
“Lalu ini.” Krisna mengambil satu foto lagi. “Perayaan kelulusan SD dengan NEM tertinggi di sekolah. Mamamu terlihat bahagia.”
“Ah, kalau ini—” Krisna hendak mengambil satu lagi, tapi Rava menyingkirkan foto itu.
Rava menatap ayahnya dengan tangan menunjuk dadanya. “Rava ingat semuanya. Termasuk rasa sakit yang dia tinggalkan di sini.”
Krisna menghela napas panjang. “Dia punya alasannya sendiri, Rava.”
“Rava juga punya alasan untuk membencinya.” Rava masih mengeraskan hati. “Dia berhak pergi, Rava juga berhak melarangnya kembali.”
Selama beberapa saat ayah dan anak itu terdiam. Tenggelam dalam lautan perasaan yang tak berujung. Kemudian Rava terisak dan akhirnya menangis.