Twinouble

Saras Agustina
Chapter #2

#BAB 2

Aurora hampir tidak bisa menegakkan kepalanya saat ia berjalan. Setiap mata menuju ke arahnya, membuatnya gugup. Ia yakin seratus persen mereka menggunjingnya. Aurora meremas buku yang dibawanya. Aurora sudah menjadi bulan-bulanan di kelasnya. Mereka tidak menyangka Aurora akan seberani itu menulis surat kepada Dava.

“Gila, gila! Seorang Aurora menulis surat cinta?” Ledek Samsul waktu di kelas kemarin. Tidak ada seorangpun yang membelanya. Apalagi ketiga sahabatnya tidak satu kelas dengannya. Semenjak itu teman-teman sekelasnya tidak ada yang mendekati Aurora lagi, tidak mengajaknya bicara, tidak mengajak pergi ke kantin, tidak mengajak Aurora untuk ikut gabung ke dalam kelompok. Aneh, padahal Aurora tidak berbuat salah. Apakah menulis surat cinta itu adalah kejahatan? Bukankan? Tapi kenapa semua teman sekelasnya menjauhinya? Sekarang Aurora terpaksa berjalan sendirian menuju laboraturium. Hari ini mereka akan praktik kimia. Tapi hal yang membuat Aurora gugup adalah ia akan melewati kelas Dava. Semoga saja pintu kelasnya tertutup sehingga tidak akan ada orang yang melihatnya. Aurora bisa membungkukkan badan melewati jendela.

Tapi rasanya mustahil, apalagi saat ini sedang jam istirahat. Pasti masih pintu kelas terbuka lebar. Aurora ingin pergi ke laboraturium saat bel sudah berbunyi dan semua siswa sudah masuk ke kelas. Tapi ia harus sudah ada di laboraturium sebelum Pak Jamal, guru kimianya datang. Atau ia tidak diperbolehkan masuk ke dalam laboraturium. Aurora semakin menundukkan wajahnya. Bahkan yang terlihat oleh Aurora hanya lantai. Sebentar lagi Aurora akan melewati kelas IIS 2, kelas Dava. Oh tidak, batin Aurora. Pintu kelas Dava terbuka lebar. Banyak celotehan yang terdengar. Semakin Aurora berjalan, semakin ia mendengar obrolan anak-anak yang ada di kelas itu.

“Jen, bukannya Aurora itu sepupu kamu ya?” Aurora mendengarkannya, itu pasti temannya Jeni, sepupu Aurora. Hubungan Aurora dan Jeni tidak pernah akur. Ia yakin, Jeni akan menjelek-jelekkannya di depan teman-temannya.

“Iya, malu punya saudara sepertinya.” Ucap Jeni terdengar kesal, “Dav, sepupuku emang bodoh. Tapi aku beda jadi jangan disamakan ya.” Suara Jeni berubah menjadi genit.

“Dengar-dengar, bukannya Aurora pintar ya? Dia masuk ke sepuluh besar rangking pararel seangkatan kan?” Suara laki-laki nampak bertanya pada Jeni. Membuat senyum Aurora mengembang. “Oh ya Dav, kamu pernah nangis terus dikasih sapu tangankan? Liat dong sapu tangannya. Masih disimpenkan?”

“Sudahlah, untuk apa kita membicarakan perempuan bodoh sepertinya. Siapa tadi namanya? Au apa?” Aurora tercengang mendengarkan ucapan tadi. Sekarang ia berdiri di depan pintu. Memandang Dava dengan kecewa. Bagaimana mungkin ia bisa menyukai orang yang menghinanya? Mengatakan bahwa dia bodoh?

“Halo Aurora, manis. Sini sini, kangen ya sama Dava?” Ken mendatangi Aurora dan membawanya masuk ke dalam kelas. Aurora masih tercengang dan menurut saja saat Ken membacawanya masuk ke kelas. Aurora terus menatap Dava yang sangat cuek saat Aurora berada di depannya. “Ayo, calon pacarnya disapa dulu.” Ken menggoda Aurora. Aurora tetap diam dan memandang Dava.

“Kamu kenapa sih Ken? Bawa pergi dia!” Dava mengalihkan pandangannya ke samping. Aurora mendengus kesal. “Heh kamu!” Aurora menunjuk Dava, “Kalau bicara dengan orang bisa sopan sedikit tidak?” Dava memandang Aurora dengan bingung. “Jangan sembarangan mengatakan aku bodoh, aku ini ranking 3 para…” Aurora mendadak diam, tidak jangan membahas rangkingnya di sini. Ia tidak ingin menyombong. Kenapa juga Aurora menghabiskan menyukai orang yang menghinanya? Apa? Dava menyebutnya bodoh?! “Pokoknya, jangan pernah menyebutku!” Aurora berbalik dan melangkahkan kaki meninggalkan kelas Dava.

Dava berdiri, “Oh iya? Kalau bukan bodoh apa namanya membuat surat cinta. Apa itu memikirkan orang selama tiga tahun. Itu bukan cinta, malah menakutkan. Seperti psikopat.” Dava tertawa mengejek.

Aurora merasa terhina, perasaan yang ia miliki justru dihina oleh orang yang disukai. Rasanya seperti ada yang menusuk tubuhnya berkali-kali. Aurora berbalik dan langsung melemparkan kotak pensil yang terbuat dari kayu. Kotak pensil kesayangannya, buatan ibunya. Hanya ada satu di dunia. Kalau saja Aurora berpikir jernih, daripada meleparkan kotak pensilnya lebih baik kotak pensilnya dijual saja. Aurora akan mendapatkan uang yang sangat banyak, bisa untuk uang jajan selama satu tahun. Tapi amarah membuat Aurora kepalanya tidak bekerja seperti semestinya. Kotak pensil itu tepat mendarat di kening Dava. Membuatnya terhuyung pelan ke belakang. Bagian sudut kotak pensil mengenai kening Dava dan membuat darah keluar. Aurora tidak melihat itu karena ia begitu kesal dan langsung pergi. “Heh!” Teriak Dava pada saat Aurora pergi, hanya itu yang mampu Aurora dengar.

***

Aurora menempelkan kepalanya di meja. Betapa cerobohnya dia tadi melempari kotak pensil ke kepala Dava. Bahkan Dava mendapat luka karena hal itu.  Aurora berharap agar Dava tidak mendapat luka parah. Aurora tidak bisa membayangkan kalau hal itu akan terjadi. Selain ia menyakiti Dava pasti ia akan dipanggil BK, orangtuanya dipanggil, dan mereka akan tahu alasannya begitu konyol. Sudahlah, apa bumi tidak ingin menelan Aurora bulat-bulat? Beno mendekati meja Aurora, “Ra, kalau kamu sudah mulai tidak waras bilang ya. Jangan sampai kita satu kelas juga celaka.” Aurora tidak menjawab dan membalikan kepalanya agar tidak melihat Beno lagi.

Sinta memukul kepala Beno, “Brisik! Pergi sana.” Beno memegang kepalanya yang dipukul Sinta dan kemudian pergi sambil masih melihat Aurora yang saat ini sedang gelisah. “Kamu tidak apa-apa Ra?” Sinta duduk di bangku depan Aurora.

Nilam memegangi kening Aurora, “Tidak panas,” Naya langsung menepis tangan Nilam dan kemudian duduk di samping Aurora. “Ra, ayo makan. Kamu pasti lapar.” Ajak Naya. Aurora hanya diam, “Aku pasti sudah gila. Kenapa aku? Ah tidak tahu. Aku ingin ditelan bumi aja.”

Naya langsung memukul punggung Aurora dengan keras, dan langsung membuat Aurora duduk tegak, “Kamu jangan bicara seperti itu lagi. Kalau kamu mengatakannya lagi, aku akan mengubur kamu hidup-hidup!”

“Aku kaget, kamu bisa berbuat seperti itu.” Sinta menatap penuh tanya Aurora, “Sekarang Dava harus pakai plester dikepalanya.” Aurora kaget dan langsung duduk tegak, “Tenang dia masih ganteng kok.” Nilam memukul lengan Sinta dan membuat Sinta kesal,”Apa sih? Aku bicara apa adanya.”

“Menurutku kamu harus minta maaf Ra,” Usul Nilam.

Aurora hanya diam, ia ingin minta maaf. Tapi ia takut dan malu. Tiba-tiba perutnya berbunyi. Aurora ingat kalau ia belum makan dari tadi. Bahkan ia juga belum sarapan. “Ayo ke kantin, kamu sudah lapar begitu.” Naya menarik tangan Aurora agar ia mau berdiri. Aurora menurut saja, ia memang malu kalau nanti bertemu orang lain. Pasti mereka akan berbisik-bisik saat melihat Aurora. Tapi rasa lapar diperutnya tidak bisa dihindari lagi. Ia harus makan! Aurora berdiri dan mengikuti ketiga temannya menuju kantin.

Lihat selengkapnya