[Siska POV]
Aku terbangun dengan kepala yang berdenyut, aku keluar kamar dan melihat jam dinding di ruang tamu. Terlihat jam masih menunjukkan pukul tiga dini hari.
Aku berjalan gontai menuju dapur, ku buka tudung saji kemudian kembali meringis. Semua makanan yang sudah ku sisihkan telah habis dan hanya meninggalkan piring kosong. Alamat tidak ada sarapan hari ini.
Aku kembali berjalan menuju kamar, memilih untuk tidur lagi. Tapi sialnya, kejadian setahun yang lalu kembali muncul di mimpi ku. Membuatku tak bisa tidur. Aku berjalan mendekat ke jendela, melihat langit yang masih gelap.
"Aku merindukanmu, Riska."
Karena tak bisa tidur, aku pun memilih membersihkan rumah. Ketika jam menunjukkan pukul setengah enam, aku pun segera mandi dan bersiap-siap pergi sekolah.
Jika dulu seragam sekolahku akan di seterikan oleh ibunya, maka sekarang aku harus menyeterikanya sendiri. Menyiapkan sarapan, mencuci pakaian, memasak. Semua harus ku lakukan sendiri di usiaku yang baru saja menginjak sebelas tahun.
Setelah bersiap aku mengetuk pintu kamar milik bapak.
"Pak, Siska laper." Terdengar lemparan benda keras yang mendarat tepat di belakang pintu kamar bapak.
"Apa kau tidak melihat jam?! Aku baru saja pulang jam dua tadi! Pergilah, jangan mengangguku!"
"Pak, minta uang." Aku takut-takut mengatakannya.
"Uang apalagi?! Aku tidak punya uang! Sudahlah jangan mengganggu tidur ku!" Sebisa mungkin aku menahan tangis.
Dengan langkah tak semangat aku berjalan kaki menuju sekolah yang jaraknya dua kilometer dari rumah. Aku berharap nasib Riska tak seperti diriku. Lihatlah aku sekarang, tubuh kurus, kusam, pakaian lusuh, sepatu koyak, untuk membeli buku pun ia harus bersusah payah mengumpulkan saset shampoo atau saset minuman.
Hidup di perkotaan memang sangat menyakitkan. Saingan sangat berat, belum lagi biaya-biaya hidup. Bahkan biaya sekolahnya masih susah untuk ku bayar. Apa itu hidup bahagia? Di usiaku yang masih sebelas ini sudah harus memikirkan biaya hidup. Bapakku sama sekali tak bisa di andalkan.
Memiliki pekerjaan serabutan, belum lagi uang hasil kerja kerasnya selalu habis untuk minum-minum dan berjudi. Untukku? Hahaha jangan harap! Bahkan aku harus bekerja paruh waktu di toko sembako dan restoran kecil untuk memenuhi hidupku.
Walau aku bekerja di dua tempat, gajiku masih kecil. Belum lagi aku harus menyisihkannya untuk membayar listrik dan air. Ah! Kepalaku pusing kalau sudah memikirkan biaya-biaya hidup. Bisa-bisa rambutku akan segera beruban.
Sesampainya di sekolah, banyak anak yang menyingkir. Mereka takut jika berdekatan denganku akan tertular miskinnya. Hei! Di kira miskin itu sebuah penyakit seperti AIDS apa?!
"Haahh.. Tak bisakah aku hidup bahagia walau hanya sehari?"
"Hei miskin! Kau di panggil bu Yanti." Siswi tersebut segera kembali ke bangkunya, tak lupa ia menyemprotkan parfum ke seluruh tubuhnya.
Ku rasa tubuhku tak bau, lagipula dia sama sekali tidak berdiri dekat denganku tadi. Daripada aku memikirkannya, lebih baik aku segera menuju ruang guru. Seperti yang sudah ku duga, kali ini pun aku di panggil karena tunggakan SPP.
"Maaf bu, saya belum ada uangnya. Ah tapi ibu tenang aja, saya ada uang dua puluh ribu. Berarti sisa lima ratus delapan puluh ribu."