Two Pain

Shesil
Chapter #3

Chapter #3

[Riska POV]

Aku terbangun dari tidurku, ku lihat jam di dinding menunjukkan pukul tiga dini hari. Aku bergerak gelisah di atas kasur, ah tubuhku terasa remuk akibat kelelahan.

Karena tak bisa tidur, aku pun berjalan ke arah jendela menyingkap tirai nya. Terlihat langit gelap masih setia menemani desa kecil ini.

"Apa kau merindukan ku, Siska?"

Aku berjalan keluar kamar, memaksakan kaki menuju dapur untuk mengambil sapu. Ketika ingin mengambilnya, aku melihat banyaknya piring kotor di wastafel.

"Tidak bisakah mereka mencucinya sebelum tidur semalam?"

Ku urungkan niatku untuk mengambil sapu, kini aku beralih ke tumpukan piring kotor. Aku mencucinya dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara yang bising.

Sudah setahun aku pindah ke desa kecil ini, tinggal bersama nenek, tante, dan sepupu ku. Mamak? Ah dia pergi ke kota untuk bekerja. Walau sekolah disini terbilang lebih murah dari sekolah di perkotaan, tetap saja sulit untuk ku bayar.

Mamak masih memberiku uang untuk memenuhi kebutuhan ku, tapi nenek dan tante mengambilnya. Mereka bilang, uang itu untuk membayar sewa tempat ini. Ya aku hanyalah penumpang disini, bukan keluarga.

"Ku harap kau mendapatkan hidup yang nyaman dan bahagia, Siska."

Aku menyapu seisi rumah sampai ke teras nya. Jam baru menunjukkan pukul setengah empat, tapi para penduduk sudah berlalu lalang. Sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sesekali beberapa orang menyapaku.

Setidaknya disini banyak yang mengakui ku. Aku menatap langit dan membayangkan wajah Siska yang tersenyum.

"Apa yang kau lakukan?! Cepat kerja! Pagi-pagi malah melamun. Ini pergi belanja!" Wati -nenek si kembar- memberiku keranjang belanjaan.

"Uangnya?" Aku mengadahkan tangan, bermaksud meminta uang belanjaan.

"Pakai uang mu ya. Nenek nggak punya uang, kan kamu pasti di kirim uang sama Mamak mu itu." Nenek langsung kembali masuk ke dalam rumah, meninggalkanku dengan tangan yang masih mengadah.

Kartu ATM ku saja di ambilnya, darimana aku mendapatkan uang coba? Dengan malas aku melangkah ke kamar. Membuka lemari dan mengambil beberapa uang tabunganku.

Aku pergi ke pasar secepat yang ku bisa. Pasar di desa ini cukup jauh, membutuhkan waktu tiga puluh menit dengan berjalan kaki. Sekarang sudah jam empat pas dan aku belum juga sampai. Ku harap, kali ini aku tidak akan terlambat.

"Eh dek Riska, mau ke pasar?" Itu suara milik mas Fahri, pemuda berusia delapan belas tahun. Dia selalu baik kepadaku, dia juga anak dari bu Ria si penjual sayur. Di hari libur aku selalu bekerja di sana.

"Iya nih, mas."

"Ayo naik, mas bonceng sampai pasar." Aku pun mengangguk dan naik ke atas motor. Lumayan kan, menghemat waktu dan tenaga.

"Mas nggak sekolah?"

"Sekolah kok. Abis antar kamu, mas langsung pergi sekolah." Aku mengangguk mengerti.

Mas Fahri bersekolah di kota, jadi sejalan denganku yang menuju pasar. Ah jadi rindu perkotaan, tapi lagi-lagi aku memikirkan biaya hidup di sana.

Aku meringis mengingat bagaimana nasibku disini. Hidup disini saja sudah susah untuk ku, apalagi hidup di perkotaan sana.

"Oh iya dek, kamu setahun lagi bakal lulus kan ya? Daftar aja di SMP Tunas Bangsa."

Lihat selengkapnya