"Kamu baik-baik saja, kan?" suara Bunda mengirimkan perasaan khawatir.
"Iya, Bun. Sekarang masih ujian. Mohon doanya, ya Bun!" pinta Fira sambil membuka email di PC kamar kosnya.
"Berita di televisi semakin tidak karuan, Nak. Ini ada berita mahasiswi dibunuh pacarnya di kamar kos!" Bunda setengah menjerit.
"Iya, Bun. Bunda tenang aja. Di sini kos aman. Lagi pula, kan yang punya kos ini teman Bunda."
"Mbak Fira, bulan depan kamu tinggal di rumah Tante Nur saja, ya!"
Fira hanya menganggukkan kepala. Pikirannya masih terfokus pada PC yang sejak dua jam lalu ia nyalakan.
"Iya, Bun. Ikut Bunda saja," ujar Fira.
"Ya sudah, bulan depan biar Tante Nur jemput kamu, ya?"
"Biar Fira yang ke sana saja, Bunda."
Fira tahu betul kecemasan Bunda. Bagaimanapun, ia adalah anak semata wayang.
"Fira...Fira," suara Ayah membuat Fira tersenyum.
"Ayah," bisik Fira.
"Ah, biasa ibu kamu ini. Terlalu khawatir dan rempong, kan? Ahahahaha. Ya Sudah, selamat belajar semoga semua soal bisa dikerjakan."
"Siap, Ayah!"
Klik. Sambungan putus. Begitulah, kedua orang tua Fira memang memiliki karakter yang sangat kontras. Bunda begitu pencemas dan agak serius, sedangkan ayahnya serba santai dan cenderung humoris. Bisa jadi, rasa cinta di antara keduanya terjalin karena perbedaan karakter yang saling mengisi dan melengkapi.
Selesai mengirim email ke alamat redaksi sebuah koran lokal, ia segera membereskan buku-buku yang berserakan di lantai kamar. Bulan depan, ia akan mulai tinggal di rumah Tante Nur. Itu berarti, ia bisa mengemasi beberapa buku yang tidak terlalu sering digunakan.