Riuh tepuk tangan membanjiri ruang kuliah umum. Fira menyeka keringatnya. Entah atas alasan apa, dia begitu merasa kikuk, takut salah, dan kadang gerakannya menjadi terkunci. Fira membalas senyuman Afwan dengan senyum yang dipaksakan, karena sesungguhnya ia tidak siap.Bukankah untuk bertemu dengan orang yang kita kagumi, sungguh membutuhkan persiapan yang tidak sebentar?
"Terimakasih, Dik Fira. Ternyata tidak hanya pandai menulis, tetapi pandai menjadi moderator," ujar Afwan kepada Fira.
"Terimakasih juga, atas ilmu yang luar biasa, Mas Afwan," ujar Fira sambil menundukkan wajah.
"Kalian, memang dua penulis hebat. Cocok dan serasi," ujar Bu Dyah.
"Ya, memang Dik Fira ini sosok yang cerdas dan pandai membawa diri," puji Afwan sambil memberikan hadiah buku kepada Fira.
"Apa ini, Mas Afwan?"
"Hadiah, untuk penulis yang cerdas dan sudah lama saya kagumi. Di media massa, sangat jarang penulis perempuan. Kalau pun ada, mereka kadang timbul tenggelam. Selama tiga tahun ini, saya amati Dik Fira berbeda. Bahkan, tulisannya semakin 'cantik' dan kaya akan pandangan keilmuan psikologi," ujar Afwan memberikan dua jempol.
"Kalian ini sesama penulis, kalau udah ketemuan gini, percakapan aja jadi beberapa artikel," kelakar Bu Dyah.
Afwan tertawa kecil. Fira tersenyum simpul. Saat ini, ia kewalahan menata bagian terinti dari hatinya.
"O, ya, Dik Fira tinggal di mana?"
"Komplek Asri Permai, Mas," jawab Fira singkat.
"Dijemput pacar, atau?"
"Afwan, Fira ini mahasiswi teladan. Biar pun banyak mahasiswa yang suka, ya dia tetap fokus kuliah," jelas Bu Dyah.
"O, ya?" Afwan tersenyum lepas.