Bocah berumur lima tahun itu tidur lelap di kamarnya, bergelung di bawah selimut. Udara malam ini dingin sekali, angin semilir memainkan rambutnya yang tidak tertutup selimut. Benar saja, dia lupa menutup jendela kamarnya, walau ibunya sudah menutup jendela kamarnya sebelum bocah itu tidur—lebih tepatnya pura-pura tidur—dia membuka kembali jendela kamarnya setelah ibunya memberi kecupan di pipinya, mengucapkan selamat malam dan kembali ke kamar.
Bocah itu hanya ingin merasakan angin malam menerpanya, bulan dan bintang seperti teman baginya, mengajaknya berbincang.
Sayup-sayup terdengar suara dari luar jendela, berbisik-bisik seperti tidak mengizinkan siapapun mendengarnya, namun berkat malam yang tenang, percakapan itu terdengar lebih keras, buktinya bocah itu menggerak-gerakkan kakinya gelisah karena tidurnya terganggu.
“Dia anak yang dipilih takdir.” Suara perempuan terdengar dari luar jendela.
“Dipilih takdir? Maksudmu ... dia sang Pemiliki Jiwa Suci?” Suara lain terdengar menyahut, berbisik-bisik pula.
“Ya. Berjanjilah kau akan melindunginya.” Dia berhenti sejenak. “Anak itu seperti mutiara rapuh yang beracun. Sangat berharga, namun kalau sudah pecah dia akan membumihanguskan kita.”
Bocah itu menggerang. Dia membuka matanya, mengacak rambut kelabunya. Dibuang dengan kasar selimutnya, berjalan dengan gontai menuju jendela kamarnya—tempat suara itu berasal, tanpa memikirkan apapun bahkan tidak sempat menduga bahaya apa yang terjadi, ia lebih memilih menuntaskan rasa penasarannya.
Dengan mata yang masih belum sepenuhnya terbuka, samar-samar dia melihat dua orang perempuan dengan baju putih laksana ratu-ratu yang ada di TV dan satunya lagi berbaju biru dengan tudung biru.