Bruk!
Bocah tujuh tahun itu tersentak kaget ketika mendapati pintu gudang tiba-tiba tertutup. Gudang itu redup, hanya terdapat lampu temaram di tengah ruangan dengan cahaya bulan yang menyelip masuk lewat sela-sela jendela. Anak itu gemetar, guratan wajahnya menampakkan ketakuatan.
Dia mendekati pintu, memukul-mukul pintu itu keras, berteriak kalut. “Buka pintunya! Kakak! Buka!”
Di gudang itu tidak ada apa-apa kecuali kadus-kardus yang usang dimakan waktu dengan karung-karung goni yang masih dipertanyakan isinya. Seharusnya tidak ada yang membuat bocah itu takut. Dia hanya takut ... sendiri.
Orang-orang yang dipanggilnya ‘Kakak’ itu tertawa terbahak-bahak, salah satu dari mereka menyahut, “Kami bukan kakakmu, Bocah! Dan ya, itu hukuman untukmu karena berbuat tidak sopan ..., tidur sendirian di gudang.”
Bocah itu semakin menambah tenaga untuk memukul-mukul pintu, berteriak ingin keluar. Sangat keras, hingga membuat suaranya serak. Memicu tawa laksana iblis itu keluar dari bibir ketiga remaja yang merupakan seniornya di panti asuhan itu.
Udara malam semakin terasa dingin, bagaikan jarum menusuk-nusuk kulit. Anak itu merinding kala udara menyentuh kulitnya.
“Satu lagi, Tyaz. Kudengar, di gudang kerap kali ada penampakan anak perempuan berambut panjang, kuharap kau akur dengannya. Jaga dirimu baik-baik, karena menurut berita yang kudengar, hantu itu sedikit jahat .... Semoga malammu menyenangkan.” Remaja bersurai gelap itu terbahak semakin keras setelah mendengar jeritan ketakuatan dari Tyaz.
Pemuda yang terlihat paling pendiam menepuk bahu kedua temannya. “Sudahlah, ayo kita pergi sekarang, nanti Ibu Panti melihat kita.”
Kedua teman lainnya mengangguk paham, bisa dapat masalah besar kalau Ibu Panti mengetahui kenakalan mereka. Hukuman yang dia berikan tidak kepalang tanggung, selalu berhasil membuat si korban jera. Tetapi mungkin tidak bagi mereka bertiga, sudah kebal. Walaupun begitu, mereka harus pergi sekarang.
Di gudang, Tyaz semakin terisak, dia meringkuk ketakutan di pojok gudang, mukanya sembap, sorotan matanya menyiratkan ketakuatan dan kebencian.
“Ayah, Ibu, Tyaz takut, Tyaz tidak ingin tinggal di tempat gelap ini. Kenapa kalian meninggalkan Tyaz sendirian di panti ini?” gumaman lirih keluar dari bibir kecilnya.
Bukan sekali ini kakak-kakak seniornya berbuat semena-mena, sudah sering Tyaz dan teman-teman seumurannya dibuat menderita hanya karena Tyaz untuk pertama kalinya berani menentang kakak-kakak itu. Dan hasilnya begini, dikurung di gudang.
Tyaz menyeka ingusnya, teringat wajah kedua orangtuanya yang memucat dengan tubuh terbujur kaku dua tahun lalu, sangat pedih rasanya mengingat kejadian itu. Membuat Tyaz meneteskan air mata dalam diam, tanpa raungan seperti tadi. Dia lelah, percuma berteriak malam-malam begini, semua penghuni panti tidur di kamar masing-masing, tidak ada yang melewati gudang, mereka tidak seiseng itu.
Tyaz menenggelamkan wajahnya di lipatan siku, berusaha menghilangkan rasa takutnya. Jujur saja, sejak kematian kedua orangtuanya, Tyaz takut sendirian, ditambah ruangan yang kurang pencahayaan dan pengap itu. Tyaz mengepalkan tangannya kuat, jika saja ia sudah lebih besar sedikit, dia akan membalas perbuatan kakak-kakaknya. Masih pantaskah dia menyebut orang-orang terkutuk itu dengan sebutan ‘kakak’?
Tyaz mengangkat kepalanya, napasnya semakin berat. “Aku akan membalas perbuatan kalian,” ujarnya mantap.
Sekarang tidak akan ada lagi bocah penurut yang menerima semua perintah pemuda-pemuda angkuh itu, bocah itu telah mati malam ini bersamaan dengan semakin matangnya malam. Tyaz mengepalkan tangannya kuat, sorot matanya berubah menjadi tajam. Aura kemarahan tercium pekat dari tubuhnya.
Tiba-tiba lampu temaram yang satu-satunya menjadi penerang di gudang itu mati, lalu menyala lagi, dan mati. Mata Tyaz menatap sekeliling dengan was-was. Ayolah, ini bukan seperti adegan film horor di TV, di mana setelah ini hantu akan muncul.
“Halo, Tyaz.”
Tyaz terperanjat, ketika tiba-tiba terdengar suara anak perempuan di dekat telinganya. Pasalnya, dia sekarang sedang sendirian, benar-benar sendirian. Lalu siapa pemilik suara itu? Apakah sedari tadi dia tidak sendirian?
Hantunya benar-benar muncul. Tyaz menyesal karena memikirkan hal-hal seram saat dia sendirian dan ketakuatan.
“Siapa di sana?” Tyaz mengedarkan pandangannya, tetapi percuma, ke manapun matanya mengarah, yang dia lihat hanyalah kegelapan.