Waktu terus berjalan, tidak terasa tiga tahun telah berlalu sejak kejadian di gudang malam itu. Kejadian itu membuat Tyaz mengalami sedikit trauma terhadap gelap, ia bahkan tidak mematikan lampu saat tidur. Hingga suatu malam, Ibu Panti mematikan lampu di kamar Tyaz karena sang pemilik kamar sudah tertidur, tetapi bertepatan dengan lampu dimatikan, mata Tyaz terbuka otomatis dan bocah sepuluh tahun itu menjerit seperti melihat hantu.
Tyaz benci pada dirinya yang lemah, teman-teman di kelasnya selalu mengata-ngatainya seperti perempuan. Takut kegelapan bukan hanya terjadi pada perempuan kan?
Tyaz berlari keluar kelas saat bel berbunyi. Dia sepertinya terburu-buru pergi ke suatu tempat.
“Tyaz!”
Tyaz menoleh, mendapati Myth—teman di kelasnya yang selalu membela Tyaz jika ada teman-teman lainnya mengata-ngatainya, walaupun Tyaz tidak membutuhkan itu, toh jika teman-temannya yang mengatainya, dia tidak peduli, biarlah mulut mereka sendiri yang lelah.
Myth buru-buru menyusul sembari tangannya sibuk menutup resleting tas punggungnya yang kebesaran.
“Kenapa buru-buru?” tanya Myth.
Tyaz mengajaknya keluar kelas. “Sebenarnya ... sejak tadi aku ingin melakukannya, tapi karena aku tidak mau meninggalkan pelajaran matematika yang sama sekali tidak kubisa, jadi aku harus melakukannya sekarang. Kalau tidak ... akan terjadi bencana.”
Gadis berambut hitam itu terkejut. “Jangan membuatku takut! Bencana apa maksudmu?”
Tyaz berbisik di dekat telinga Myth. “Bencana yang besar, Myth .... Aku harus ke toilet.”
Begitu Tyaz menyelesaikan kalimatnya, dia langsung berlari kalang-kabut menuju toilet hingga membuat Myth terkekeh.
“Aku menunggumu di taman sekolah!” seru Myth.
Tyaz menoleh sebentar, lantas mengangguk kecil. Tyaz tidak terlihat lagi saat berbelok di kelokan.
***
Myth duduk di bangku taman, dia memandang langit yang cerah. Gadis kecil itu menutup matanya, merasakan angin menyapu lembut wajahnya. Angin iseng memainkan rambut hitam sebahu gadis itu. Myth memainkan kakinya sembari bersenandung kecil.
Myth membuka mata, pandangannya menelusuri sekitarnya.
“Kenapa dia lama sekali? Apa ada yang menganggunya lagi?” gumamnya.
Myth menoleh, senyumnya terukir saat melihat Tyaz berlari-lari menghampirinya. Napas Tyaz masih ngos-ngosan bahkan saat dia sudah duduk dua menit di sebelah Myth.
“Apa aku membuatmu menunggu?” tanya Tyaz.
Myth menggeleng.
“Kita mau main apa? Apa kejar-kejaran seperti kemarin atau yang lain?” tanya Tyaz.
Myth menggeleng.
“Aku tidak ingin bermain sekarang.” Dia mengedarkan pandangannya. “Aku ingin memberitahukan sesuatu padamu, ini sangat penting.”
“Penting? Mengenai apa?” tanya Tyaz, keningnya berkerut.
“Mengenai kakakku, Kak Harro,” bisik Myth sembari memandang serius semak-semak, seolah-olah ada mata yang mengawasinya di balik semak-semak.
“Kakakku bisa terbang.”
Tyaz memasang wajah datar. “Ayolah, Myth, kupikir kau akan memberitahuku sesuatu yang penting. Jangan bercanda, hanya kupu-kupu, capung, burung dan teman-temannya yang bisa terbang, tidak ada manusia yang bisa terbang, Myth.”
“Ada! Ada manusia yang bisa terbang!” Myth tetap bersikeras.
“Ah! Aku baru ingat, selain Superman dan Batman, tidak ada manusia lain yang bisa terbang,” ucap Tyaz sembari menggaruk kepalanya, mengingat-ingat lagi siapa manusia super lainnya yang bisa terbang, dan dia hanya mengingat dua manusia super itu.
“Tapi aku tidak yakin apakah kakakku terbang atau dibawa orang terbang,” gumam Myth.
“Dibawa orang terbang? Maksudmu?” Tyaz mulai tertarik dengan cerita Myth.
Myth mendekati Tyaz, tampak serius. “Aku tidak pernah mengarang cerita ini, aku melihatnya secara langsung. Beberapa hari lalu, saat malam hari, aku keluar kamar untuk membuang sampah di taman belakang panti. Lalu aku mendengar Kak Harro berbicara dengan seseorang, kemudian dia terbang bersama wanita itu.”
“Apa kau melihat wajah wanita itu? Apa yang mereka bicarakan?” tanya Tyaz, mendesak Myth agar segera cerita.
“Aku tidak bisa melihat wanita itu dengan jelas karena gelap, tapi aku yakin itu suara Kak Harro dan seorang wanita. Mereka sepertinya membicarakanmu dan pangeran, setelah mengatakan itu, mereka terbang dan menghilang,” jawab Myth.
“Membicarakanku?” gumam Tyaz.
Myth mengangguk. “Dan setelah kejadian itu, aku tidak melihat Kak Harro di manapun, dia belum kembali setelah pergi dengan wanita itu.”
Tiba-tiba ada tangan yang menarik lengan Myth, menariknya hingga gadis kecil itu berdiri. Tyaz menoleh, mendapati kakak kelas enam yang berekspresi kesal. Tyaz mengepalkan tangannya, berani sekali kakak itu kasar terhadap Myth.
“Kak Harro.”
Tyaz merenggangkan kepalan tangannya, dia selama ini tidak pernah bertemu langsung dengan Harro, dia hanya mengetahui Harro lewat cerita Myth. Sekilas, Harro dan Myth terlihat mirip—yang mana mendukung fakta bahwa mereka berdua dilahirkan dari rahim yang sama.