Hutan Hidup itu suram. Setidaknya itulah kesan pertama yang Tyaz berikan saat menjejakkan kaki di sana. Tyaz yakin sekali saat terakhir kali dia mengunjungi hutan Hidup bersama orang tuanya, hutan Hidup tidak sesuram itu. Pasti banyak perubahan yang terjadi di hutan Hidup.
Tyaz mengedarkan pandangannya, di sekelilingnya hanya ada pohon-pohon lebat yang berukuran dua pelukan orang dewasa, dengan semak-semak belukar yang tumbuh dengan liar di sekitarnya, tidak ada orang yang sekurang kerjaan itu untuk memangkas semak-semak di hutan yang katanya angker itu.
Tyaz menelan ludah gusar, hutan ini sangat gelap—membuatnya teringat kejadian saat di gudang beberapa tahun silam—bahkan dia yakin kalau pun dia ke hutan saat pagi, pasti cahaya matahari tidak akan bisa menerobos kanopi hutan ini. Bahkan Tyaz tidak tahu dia mendapat keyakinan itu dari mana.
Sebenarnya, Tyaz sedikit menyesali tindakannya, dia tidak tahu kalau hutan itu sangat gelap. Kalau tahu gelap, dia akan membawa senter atau apalah agar hutan itu tidak gelap, karena gelap ... sangat mengganggunya.
Tessa merasakan ketakutan menyelimuti Tyaz, seperti ada asap yang keluar dan menyelimuti Tyaz kalau dia sedang ketakutan. Atau Tessa saja yang merasakan asap itu?
“Apa kau takut kegelapan, Tyaz?” tanya Tessa, suaranya terdengar melunak.
Tyaz menoleh, tersenyum simpul. “Jika kau ada di sebelahku, aku tidak takut.”
Walaupun sudah mencoba tenang, tetapi hati Tyaz tidak bisa dibohongi, dia benar-benar takut pada kegelapan yang mencengkam ini. Tyaz menyeka peluh dingin di dahinya, tangannya gemetar, walau sudah berusaha ia sembunyikan, tetap saja Tessa tahu.
Tessa menggandeng tangan Tyaz, ia menautkan jemarinya, tangan pemuda itu dingin dan gemetar. Tessa berusaha mengalirkan energi pada Tyaz, mengatakan pada Tyaz bahwa dia akan baik-baik saja.
Tanpa sepengetahuan Tyaz, tangan Tessa yang menggenggam jemari Tyaz bersinar, seperti menyalurkan sepercik keberanian ke dalam diri Tyaz, membuat asap yang berupa ketakutan itu perlahan menghilang dan tidak lagi menyelimuti Tyaz.
Setelah beberapa menit matanya menyesuaikan dengan kegelapan, perlahan Tyaz dapat melihat lebih jelas sekitarnya.
“Semuanya akan baik-baik saja,” ujar Tessa, laksana sihir, membuat diri Tyaz lebih tenang.
Tyaz menoleh, mengernyitkan dahi. “Hei, jangan berkata seolah-olah aku yang takut di sini. Aku ... tidak takut.” Ujung suara Tyaz terdengar tercekat.
“Ada apa?” tanya Tessa was-was.
“Entahlah. Aku merasa ada yang mengawasi kita.” Tyaz menyusuri hutan dengan tatapan tajamnya.
Ah, syukurlah cara itu bekerja, untuk sementara waktu kau tidak akan takut kegelapan, batin Tessa.
Feeling Tyaz benar, Tessa sendiri merasakan ada yang mengawasi mereka. Dan apapun itu, mereka berniat ... tidak baik.
“Kita harus berhati-hati. Entah apapun yang mengawasi kita, mereka sangat berbahaya,” ujar Tessa serius menekan kata sangat.
Tyaz mengangguk, menggengam erat tangan Tessa, melangkah dengan hati-hati. Takut bila tiba-tiba ia menginjak ranjau dan meledak, walau ia tidak tahu dari mana pemikiran aneh itu.
Tyaz mempercepat langkahnya, tidak memedulikan tatapan bingung dari Tessa. Bukan waktu yang tepat untuk menjawab kebingungannya. Tyaz merasa ada yang mengejarnya dari segala arah. Mereka dalam bahaya.
“Apa kau juga merasa ada yang mengejar kita, Tyaz?” tanya Tessa, menyadari kegelisahan Tyaz.
Tyaz mengangguk kecil, walau dia tidak tahu apakah Tessa bisa melihat anggukannya.
“Hei, Anak Kecil. Apa yang kalian lakukan di sini? Apa kalian bosan hidup?”
Deg!
Sontak mereka menghentikan langkahnya demi mendengar sebuah suara berat menyapa mereka. Tyaz memutar tubuh ke belakang, diikuti Tessa. Dia melebarkan bola matanya, entah dari mana datangnya pria-pria itu, seperti sebuah sihir, tiba-tiba mereka muncul dari segala penjuru.
Jumlah mereka sekitar lima—kalau Tyaz tidak salah lihat, karena kegelapan tidak membantu—tiga dari mereka memakai jaket kulit hitam, tanpa masker atau lainnya seperti penjahat-penjahat pada umumnya, salah satu dari mereka memakai jaket kulit cokelat, dan satunya memakai hoodie hitam, berdiri paling jauh dari kerumunan, dia mengenakan tudung jaketnya, wajahnya ditutupi masker hitam, rambut kelabunya menutupi sebagian matanya, Tyaz hampir tidak bisa melihat wajahnya.
Orang berjaket hitam yang Tyaz yakini sebagai pemimpin itu melangkah ke depan, menyungingkan senyuman meremehkan. “Kau belum menjawab pertanyaan kami, Bocah. Kenapa kau ke sini?”
Tyaz enggan menjawab, merasa pertanyaan itu tidak penting. Iris kelabunya berkilat tajam. Posisinya dan Tessa sekarang saling memunggungi, melindungi satu sama lain.
Pemimpin rombongan itu mengulum senyum yang entah kenapa membuat Tyaz semakin muak. “Kau sepertinya tidak mau menjawab pertanyaanku, tidak masalah. Mungkin kau belum mengetahui siapa kami.”
Dia tertawa, diikuti keempat anak buahnya.