Tyaz menyembunyikan kepalanya di balik lipatan sikunya, kelas tidak terlalu ramai karena sebagian besar dari mereka mungkin masih di alam mimpi, atau mempersiapkan diri untuk berangkat.
Tyaz sedikit menikmati masa SMP-nya, karena saat sekolah dasar, dia didiskriminasi karena warna rambut dan irisnya berbeda—kelabu, malahan dia menjadi idola bagi sebagian perempuan di sekolahnya. Sebagai siswa tingkat akhir di SMP, sebenarnya cukup menganggu jika dikejar cewek-cewek berisik itu.
Namun suatu waktu Myth pernah mencibirnya, dia bilang sebenarnya Tyaz menyukainya, hanya saja dia tidak mau mengakuinya. Tyaz membantah, dia mengatakan bahwa dia tidak menyukai gadis-gadis yang menggodanya, dia hanya menyukai Myth.
Myth terdiam waktu itu, Tyaz melihat rona merah di wajah gadis itu. Tyaz khawatir, apakah Myth sakit hingga wajahnya seperti itu? Namun Myth tidak menjawab dan berlari begitu saja. Bukankah gadis itu aneh? Dia tadi datang mencibirnya dan kini Tyaz ditinggal pergi pegitu saja.
“Hei, Tyaz.”
Seseorang menepuk punggung Tyaz cukup keras, membuat Tyaz tersadar sebelum alam bawah sadar menariknya masuk. Dia hampir ketiduran. Pemuda itu mengangkat kepalanya, terlihat Diaz dan Joo—teman-teman Tyaz.
Diaz terlihat khawatir saat matanya melihat perban di pelipis Tyaz.
Mereka berdua duduk di kursi depan Tyaz.
“Lama tidak bertemu, Bung. Kau menghilang ke mana selama seminggu ini?” tanya Joo santai.
“Dan bagaimana kau bisa mendapatkan luka itu? Apakah sakit?” Diaz bertanya cemas, dia mengingatkannya pada Myth jika sudah berlebihan seperti itu.
“Aku tidak tahu bagaimana mendapatkan luka ini,” jawab Tyaz.
“Apakah sakit?” tanya Diaz lagi, kenapa dia tiba-tiba cerewet sekali?
“Seorang laki-laki pantang merasa sakit,” jawab Tyaz mendapat seruan dari Joo.
“Hm, benarkah? Kulihat kemarin kau meringis dan menangis di ruang kesehatan saat Myth membersikan lukamu,” cibir Joo.
Tyaz kehilangan kata-kata, dia hanya bungkam.
“Yang kemarin itu saat Tyaz bilang, ‘Myth, tidak usah dibersihkan nanti sakit, dibalut saja nanti sembuh sendiri’. Dengan air matanya keluar? Yang itu?” Diaz ikut menimpali.
Tyaz tersenyum kikuk sembari menggaruk belakang kepalanya, malu. Kenapa mereka berdua harus melihat kejadian memalukan itu? Tyaz tidak pernah menunjukkan sisi lemahnya di hadapan orang lain selain Myth.
Myth tiba-tiba datang dengan menyenandungkan lagu-lagu yang belakangan ini populer di kalangan teman-temannya, dia berjalan santai menuju mejanya, duduk. Tyaz sempat meliriknya sebentar, dan gadis itu balas meliriknya, Tyaz menundukkan kepala, membuat Diaz dan Joo tertawa.
“Berhentilah tertawa,” ucap Tyaz penuh penekanan.
“Oke, oke, kalau kau marah begitu cukup menakutkan,” ujar Joo.
Beberapa menit ke depan mereka membicarakan hal-hal yang tidak penting, mulai dari gadis-gadis kelas sebelah yang entah kenapa semakin cantik kalau dilihat, atau membahas kenapa jajan kantin dari hari ke hari semakin mahal saja.
“Apa selama aku tinggal seminggu ini ada yang merindukanku?” tanya Tyaz, semakin tidak jelas arah pembicaraan mereka.
Diaz tampak berpikir, namun dia menggeleng, antara tidak ada yang merindukan Tyaz atau dia tidak tahu.
“Ada!” Joo berseru, membuat beberapa murid yang telah datang menoleh padanya.
“Siapa?” tanya Tyaz penasaran.
“Pak Tam, katanya kau belum mengerjakan PR matematika, kau juga belum ikut ulangan harian dan kau belum remidian ulangan dua minggu lalu. Dan ... Bu Sinta, kau belum membuat cerpen dan—”
Tyaz cepat-cepat memotong ucapan Joo. “Baiklah, terima kasih, ternyata banyak yang merindukanku.”
Tyaz mengedarkan pandangannya, mencari-cari sosok teman sebangkunya, biasanya Jay orang yang baik, dia akan menulis daftar tugas-tugas untuk Tyaz jika Tyaz tidak masuk. Walau Tyaz tidak pernah memintanya.
“Di mana Jay?” tanya Tyaz.
“Dia sakit selama lima hari ini, aku tidak tahu hari ini dia masuk atau tidak hari ini. Tapi aku lihat di panti tadi sepertinya dia menyiapkan bukunya,” jawab Diaz.
“Hei! Kau tahu, Tyaz? Sehari setelah kau menghilang, Jay pergi ke hutan Hidup, katanya dia tidak percaya cerita Ibu Panti kalau di hutan itu banyak pembunuh. Dia memiliki teori lain, katanya hutan itu bernama hutan Hidup bukan hutan Mati, seharusnya memberi kehidupan bukan memberi kematian, maka dari itu penamaannya hutan Hidup, bukan hutan Mati,” ujar Joo dengan suara berbisik, tidak mau anak-anak lain mendengarnya.
“Akhirnya Jay bisa kembali kan?” tanya Tyaz.
“Jay memang kembali, tapi ....” Diaz menggantungkan ucapannya.
“Tapi? Apa?” Tyaz terlihat tidak sabar.
“Tapi Jay tidak sampai memasuki hutan itu, dia hanya berdiri di luar, katanya dia melihat sesuatu yang membuatnya trauma hingga dia jatuh sakit,” Joo melanjutkan ucapan Diaz.