Tyaz sedang berbaring di kasurnya. Matanya terpejam, kesadaran penuh masih dimilikinya, dia tidak tidur—lagi pula siapa yang tidur saat sore hari. Dia hanya merasa bosan, yang dilakukannya sedari tadi hanyalah berguling-guling di kasur, lalu diam sebentar saat merasa lelah, lantas berguling-guling kembali.
Raganya memang di kamar, namun pikirannya melayang ke mana-mana. Dia memikirkan banyak hal, entah itu cerita Jay kemarin dan tentang Harro yang katanya bisa bangkit dari kematian.
Waktu sepulang sekolah tadi, Tyaz menyempatkan untuk melihat kelas sebelas bermain basket, mereka berlatih untuk pertandingan beberapa minggu ke kepan, dan kebetulan, Harro menjadi salah satu anggota basket andalan sekolah.
Tyaz melihat Harro berlari-lari merebut bola, terkadang melakukan dribbling, maupun menembak bola dengan melompat, dan Harro tidak terlihat kesusahan saat bergerak. Kalau kaki kanannya terluka parah, jelas sekali dia tidak akan bisa berlari atau melompat dengan lancar, minimal berjalan dengan terpincang-pincang.
Saat tim basket istirahat, Tyaz berusaha melihat lebih dekat, untuk memastikan apakah ada luka di kaki kanan Harro atau tidak. Dari jarak satu setengah meter, Tyaz tidak melihat luka di kaki Harro, kakinya mulus, bekas luka pun tidak ada. Kalau pun dia luka seminggu yang lalu, pasti menghasilkan bekas.
Tyaz menerawang langit-langit kamar, ia yakin Jay tidak akan membohonginya, temannya tidak sejahat itu untuk membohongi Tyaz, dan Jay tidak sepandai itu untuk mengarang cerita. Saat disuruh membuat cerpen untuk tugas sastra saja, Jay mendapat nilai urut satu dari belakang, setelah Tyaz—yang artinya nilainya terburuk.
Apa Tyaz harus berpura-pura menjadi orang bodoh saja yang tidak tahu apa-apa dan menganggap semuanya tidak pernah terjadi?
***
Berpura-pura bodoh dan tidak tahu apa yang terjadi, itulah salah satu cara yang membuat kehidupannya terasa lebih damai, tanpa memikirkan bagaimana sesuatu bisa terjadi. Bersikap bodoh amat terkadang bisa menjadi suatu keputusan yang bijak.
Tyaz benar-benar merasakan arti sebenarnya dari kehidupan seorang remaja yang bebas dan tidak banyak pikiran.
Hingga pemuda itu berumur tujuh belas tahun, setiap harinya dia merasa ada yang hilang darinya, entah apa itu. Tyaz juga sudah bertahun-tahun terakhir sering mendapat memori yang sulit dimengertinya. Tidak lupa dengan suara-suara aneh yang terus tebersit di benaknya. Membuat kepalanya berdenyut keras jika dia memaksa untuk mengingat sesuatu.
Tyaz merasa semua yang dilakukannya bukan kebiasaannya, sedikit-banyak dia mengalami banyak perubahan. Myth yang pertama kali menyadari hal itu, kalau ... Tyaz sudah berubah.
Tok tok!
Tyaz terlonjak kaget saat mendengar ketukan pintu karena dari tadi dia melamun tidak jelas dengan pemikiran yang melayang ke mana-mana.
“Ini Ibu. Bolehkah aku masuk?” Suara Ibu Panti terdengar di luar kamar Tyaz.
Tyaz melompat dari kasur, segera membuka pintu kamarnya.
“Iya, Bu? Ada perlu apa?” tanya Tyaz sopan saat dia sudah mempersilahkan Ibu Panti masuk ke kamarnya.
Tyaz menghela napas lega saat mendapati kamarnya dalam keadaan cukup rapi. Kalau saja Ibu Panti melihat kamarnya yang berantakan laksana kapal yang diterjang badai selama berbulan-bulan, pasti tongkat kayu legendarisnya akan bertindak. Hukuman pun datang tanpa bisa ditawar.
Ibu Panti tersenyum, mengelus pelan bahu Tyaz.
Insting seorang Tyaz tidak pernah salah, dia bisa merasakan ada yang aneh dengan tingkah Ibu Panti. Raut wajahnya sulit diartikan, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu yang penting. Kalau tidak mendesak, biasanya dia yang akan memanggil anak asuhannya, bukan dia sendiri yang datang.
“Ada orang yang mencarimu. Mereka menunggumu di ruang penerimaan tamu panti,” jawab Ibu Panti setelah lama terdiam, memandangi wajah Tyaz.
“Mereka? Maksud Ibu orang yang ingin menemuiku lebih dari satu orang? Siapa mereka? Dan kenapa mereka ingin menemuiku?” tanya Tyaz beruntun.