Tyaz Gamma

Varenyni
Chapter #10

Part 9 - Nightmare

Tyaz menguap lebar. Dia meregangkan persendian tangannya. Berjalan menuju jendela kamarnya, lantas membukanya. Udara dingin berebut masuk ke kamarnya. Pagi ini Tyaz bangun kesiangan—beruntung sekolah sedang libur, karena tadi malam dia sulit sekali tertidur, kalimat itu masih terngiang-ngiang di kepalanya.

“Kerajaan Kegelapan, Pangeran Hydo Sirrius.” Entah sudah berapa kali Tyaz mengumamkan kata itu sejak kemarin malam.

Tyaz berjalan menuju cermin yang tertempel di lemarinya. Terlihat pantulan seorang pemuda berumur tujuh belas tahun di sana, iris kelabunya terlihat meredup, rambutnya acak-acakan khas orang bangun tidur, ditambah lagi dengan kantung mata tipis yang melingkar di bawah matanya. Dia menyisir rambutnya dengan jemari.

Helaan napas terdengar. “Mungkin ini hari terakhirku di sini. Aku harus secepatnya kembali ke rumah.”

Tyaz mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, di dinding banyak sekali tertempel poster-poster film, entah itu film produksi dalam negeri, ataupun luar negeri. Dia tipe orang menyukai film bergenre action, science fiction, mystery, dan thiller. “Aku akan merindukanmu poster-poster kesayanganku, tidak lupa juga kamarku tercinta. Aku akan merindukan kalian semua.”

Tyaz terkekeh. Kalau dipikir-pikir, kelakuannya tadi cukup gila. Tentu saja benda-benda itu tidak dapat berbicara atau sekadar merindukan pemiliknya.

Dia memandang pantulan dirinya di cermin lagi. Menghela napas sekali lagi. “Haruskah aku memberitahu gadis itu? Aku tidak ingin dia bersedih.”

Tok tok!

“Tyaz ini aku, Myth. Aku akan masuk.”

Tanpa menunggu persetujuan dari sang empunya kamar, Myth langsung membuka pintu kamar Tyaz.

Panjang umur, baru saja aku membicarakanmu, batin Tyaz. Pandangannya tidak teralihkan dari cermin.

Terdengar langkah kaki Myth masuk. “Kau tidak akan bertambah tampan jika terus bercermin, yang ada cerminnya akan pecah,” ujarnya, lantas duduk di tepi kasur Tyaz.

“Terima kasih atas pujiannya.” Tyaz menyisir surai kelabunya dengan jemarinya, berusaha untuk tetap terlihat ceria.

Semenit kemudian dia duduk di sebelah Myth, bertanya, “Ada apa gerangan seorang Myth Mitchell datang kemari?”

Myth hanya berekspesi masam, lantas dia menyodorkan beberapa dokumen yang sedari tadi dipegangnya.

“Apa ini?” Tyaz menerima dokumen itu, alisnya bertaut bingung.

“Itu ‘surat rindu’ dari Ibu Panti,” jawabnya tanpa ekspresi.

Tyaz melototkan matanya. Seluruh penghuni panti tahu maksud di balik surat rindu dari Ibu Panti. Surat itu sebenarnya bukan surat yang berisi kerinduan Ibu Panti kepada anak asuhannya, bukan. Surat itu biasanya berisi ancaman, hukuman, atau hal yang sama-sama mengerikan dari Ibu Panti karena anak asuhannya melakukan sebuah kesalahan atau kenakalan.

Tyaz membuka dokumen itu. Lantas menyadari sesuatu, surat itu bukan surat rindu dari Ibu Panti, namun surat yang menyatakan kepindahannya.

“Kenapa kau tidak mengatakannya, Tyaz? Sementara kau memberitahu Jay, Joo dan Diaz, kenapa kau tidak mengatakannya padaku? Apa aku tidak kau anggap temanmu?” tanya Myth, Tyaz menolehkan kepala, menyadari ekspresi Myth yang muram.

Karena aku bodoh, batinnya memaki. Seharusnya Tyaz memberi tahu Myth selaku sahabatnya dari kecil. Bukankah kata orang, lebih baik Myth mengetahui kebenaran itu dari mulutnya sendiri daripada mengetahuinya dari orang lain?

Kalau soal Jay, Joo dan Diaz, Tyaz tidak berniat memberi tahu mereka, namun Tyaz tidak sengaja mengucapkannya saat Jay bertanya kenapa dia murung di kelas seharian ini, dan mulutnya yang tidak bisa dikontrol mengucapkan, “Aku akan pergi.”

Yang membuat ketiga temannya berseru kaget, “Apa? Kau pergi? Kenapa? Bagaimana?”

Tyaz menghela napas berat. “Aku tidak ingin membuatmu sedih, Myth.”

“Apa kaupikir aku tidak akan sedih jika kau tetap akan meninggalkanku? Bukankah pada akhirnya aku tetap bersedih? Bukankah kau mengatakannya sendiri kalau mengetahui suatu informasi lebih cepat akan lebih baik? Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?” cerocos Myth, menghela napas, berusaha menahan air mata yang keluar dari pelupuk matanya.

“Akan kujelaskan, Myth. Tolong dengarkan ....” Sorot matanya meredup. “Pada awalnya, aku tidak mengetahui ternyata ayahku sudah menulis surat wasiat sebelum beliau meninggal. Isi wasiat itu mengatakan, jika beliau meninggal, maka aku harus tinggal di panti ini, tidak di rumah. Ayah juga memberi alasan, agar aku menjadi anak mandiri dan tidak manja. Kautahu kan, pada awalnya aku membenci panti ini?

“Dan yang kedua, aku harus kembali ke rumah saat usiaku tujuh belas tahun. Beliau menginginkan agar aku melanjutkan perusahaannya.” Tyaz mengakhiri ceritanya.

“Tidak bisakah kau tinggal di sini lebih lama lagi, Tyaz?” tanya Myth melas, berharap Tyaz mengangguk setuju.

Tyaz menggeleng, membuat harapan Myth yang telah melambung tinggi, seketika jatuh, hancur berkeping-keping. Tidak berbentuk. “Ini keinginan terakhir ayahku. Dan Ayah mengajarkan padaku agar aku tidak mengingkari janji. Besok aku harus kembali ke rumah, tapi aku tidak akan pindah sekolah, kita masih bisa bertemu di sekolah.”

Myth mengangkat kepala. “Lalu bagaimana dengan janji yang kauberikan padaku saat Kak Harro diadopsi keluarga lain? Apa kau akan mengingkari janji itu, Tyaz?”

Tyaz teringat percakapannya dengan Harro setahun lalu saat dia pamit pada anak-anak panti, Harro menghampiri Tyaz.

“Walaupun aku tidak terlalu menyukaimu, Tyaz, tapi bolehkah aku meminta kau berjanji satu hal padaku?” tanya Harro waktu itu sembari mengenggam bahu Tyaz.

Tyaz mengangguk, tersenyum tipis.

“Selama aku tidak ada, tolong jaga Myth seperti kau menjaga adikmu sendiri,” ujar Harro.

“Baik, Kak. Aku berjanji akan menjaga Myth dan melindunginya. Aku janji,” kata Tyaz mantap.

Apa yang harus Tyaz lakukan sekarang? Bagaimana dia bisa menjaga Myth jika dia tidak selalu ada di sisinya.

***

Tyaz menutup risleting tasnya. Dia sudah selesai berkemas, besok waktunya untuk kembali ke rumah. Dia meminta bantuan Ibu Panti untuk menelepon Hendry dan memintanya untuk menjemputnya esok hari, karena dia sendiri sudah lupa bagaimana bentuk rumahnya, apalagi jalan menuju ke sana. Walau diberi alamat pun tetap sulit, jadi dia memilih opsi kedua.

Lihat selengkapnya