“TESSA!”
Tyaz terbangun dengan napas terengah-engah, dia menyeka peluh dingin di dahinya. Tangannya gemetar menyibak selimut.
Apa tadi? Batinnya sembari berusaha mengatur napasnya yang ngos-ngosan.
“Te-sa,” gumamnya.
“Dia ... mengorbankan dirinya untukku? Kenapa, Tessa?”
Walaupun Tyaz tidak ingat Tessa sepenuhnya. Namun, setidaknya dengan mimpi singkat tadi, Tyaz dapat sekadar mengingat nama itu, orang yang selama ini mengisi kekosongan hati Tyaz.
Tyaz mencoba berdiri. Dengan langkah gontai dia menyibak gorden, membuka jendela kamarnya.
“Sebenarnya kau siapa Tessa? Kenapa kau tiba-tiba menghilang selama tiga tahun ini?” gumamnya, memandang rembulan malam yang tampak indah menghiasi langit.
Udara malam berembus kencang, piyama yang digunakan Tyaz berkibar. Dinginnya menusuk-nusuk kulit, membuat bulu kuduk berdiri. Tyaz menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, memeluk dirinya sendiri.
“Eh, apakah ini masih malam?” Tyaz melirik alarm yang berada di atas nakas, sudah jam tiga lebih lima puluh menit, sudah pagi. Pantas saja udara masih sangat dingin.
Tyaz menopang dagunya dengan tangan, menilik rembulan yang bersinar terang, tampak indah di langit, tidak lupa dengan bintang-bintang yang bertabur di langit. Sejenak, membuat hatinya tenang.
“Apa aku tadi hanya bermimpi? Lalu bagaimana keadaannya sekarang? Kenapa dia mengorbankan dirinya untukku?” tanya Tyaz pada dirinya sendiri.
“Tidak mungkin Tessa mati, dia hanya menghilang, bukankah begitu, Bintang?” Tyaz mendongak, bertanya pada bintang di langit. “Dia belum mati.”
Entah ini sebuah keajaiban atau kebetulan belaka. Bagaimana bisa dia bermimpi seperti itu? Bukankah mimpi itu kelanjutan dari mimpinya tiga tahun lalu? Bagaimana mimpi bisa bersambung seperti itu? Ini bukan sinetron ‘kan yang bersambung-sambung?
Ah, aku bisa gila sekarang, batinnya frustasi.
Tiba-tiba kepala Tyaz berdenyut keras. Tangan kanannya memegangi kepala, dan tangan kirinya mencengkram bingkai jendela agar tubuhnya tidak tumbang.
Ia tidak pernah merasakan sakit di kepalanya yang begitu keras. Biasanya, sakit kepalanya masih dalam taraf normal, dibiarkan beberapa menit bisa sembuh dengan sendirinya. Berbeda dengan kali ini.
“Akhh!” Tyaz mengerang kesakitan. Dia berjalan lunglai menuju kasurnya, merebahkan tubuhnya.
Seperti sebuah film yang diputar kembali. Ingatan itu datang, menyeruak masuk ke dalam saraf otaknya tanpa bisa dicegah.
“Apa kau menyukai senja, Tuan Gamma?”
“Aku tidak suka senja. Karena senja hanya datang sesaat, walaupun indah, tetapi kemudian membuat hariku gelap.”
“Baiklah kalau begitu, aku harus pulang sekarang, kalau tidak ibuku akan memarahiku.”