“Huaaciim.”
Pemuda itu perlahan menggerakkan jari tangannya, menggosok-gosok hidung yang terasa gatal. Matanya perlahan terbuka, hal pertama yang dia lihat adalah kanopi hutan yang hampir menutupi langit berwarna kelabu, ia mengerjap-ngerjapkan mata agar pandangannya lebih jelas. Tetap sama, yang dia lihat hanya kabut.
Di mana ini? Dia berusaha bangkit dari posisi berbaring, mengedarkan pandangan. Tempat ini ... terasa sangat asing. Namun, entah kenapa di sudut ingatannya yang terdalam, dia merasa pernah mengenal tempat ini.
Bukankah aku sudah mati? Lalu, apakah tempat ini surga?
Seakan takdir tak mengizinkannya pergi, seakan malaikat maut melupakan tugasnya begitu saja. Dia dibangunkan lagi di suatu tempat yang asing, tempat yang penuh kabut, kegelapan mencengkam, kesedihan menyelimuti penjuru tempat itu. Dialah Tyaz. Dari sekian miliar orang di dunia, takdir yang memilihnya. Memilih orang yang spesial.
Tyaz tahu kegelapan semacam ini bukanlah kegelapan yang membuat dirinya yang bernotabe pengidap Achluophobia itu takut. Kali ini berbeda, Tyaz tidak bisa menjelaskan kegelapan itu, tetapi satu yang pasti, kegelapan itu berbeda.
Tangannya merabah dada kirinya. Luka tusuk yang seharusnya menganga lebar itu ... hilang tanpa bekas. Seakan tidak terjadi apa-apa. Lantas ia menyingkap hoodie-nya hingga dada, menyibak kausnya, tidak ada memar di perutnya. Benar-benar aneh.
Mungkin asumsi Tyaz benar, dia berada di surga. Namun, Tyaz merasa sedikit aneh dengan tempat itu. Menurut cerita Ibu Panti-nya, surga itu tempat yang indah, penuh tanaman yang cantik. Kalau tempat yang kini dia tempati, sangat buruk. Seperti telah terjadi perang di tempat itu, pohon tumbang di mana-mana, kabut hitam menyelimuti, dan tidak ada satupun burung yang terbang di langit saat Tyaz menengadahkan kepala.
Dia mencoba berdiri, hampir saja tumbang karena tubuhnya masih terasa lemah. Tyaz berjalan tak tentu arah, ia tidak tahu di mana dirinya sekarang, tidak ada orang yang bisa ia tanyai.
Krek!
Tyaz melompat karena kaget, tangannya memegangi pohon yang kebetulan berada di dekatnya. Dia memandang kesal pada ranting kecil yang lagi-lagi tidak sengaja diinjaknya. Sejenak dia berpikir, apakah hidupnya ditakdirkan untuk selalu menginjak ranting pohon di manapun ia berada?
Pandangannya teralihkan, menuju tangannya yang memegangi pohon. Seingatnya, dia tadi tidak melihat bekas cakaran di pohon itu. Melintang secara horizontal, bekas cakarannya juga sangat besar. Hei ... apakah itu bekas cakaran monster?
“Entahlah,” gumamnya. Tyaz memutuskan untuk tidak memusingkan bekas cakaran itu, dia harus mencari perkampungan dan bertanya di mana dirinya berada sekarang.
Satu jam berjalan tak tentu arah, membuat Tyaz merasa lelah. Walau luka di tubuhnya sudah hilang, tetapi dia masih bisa merasakan sakit yang ditimbulkan dari luka itu sendiri.
“Apa yang harus kulakukan? Seseorang, beri tahu aku?” Tyaz mendongak, kebiasaan anehnya mulai muncul—bertanya kepada langit.
Tyaz berjalan beberapa meter lagi. Senyumnya mengembang saat dia melihat siluet perkampungan warga, dia bisa bertanya pada salah satu dari mereka. Mungkin ada beberapa dari mereka yang baik hati mau menawarkan Tyaz makanan atau minuman, karena sekarang perutnya terdengar seperti petir yang bergemuruh. Meraung-raung minta tumbal.
Tyaz memutuskan menyandarkan punggung di sebuah batu besar yang mirip seperti sebuah menhir, ia duduk sejenak. Sepanjang mata memandang terlihat padang rumput dan beberapa pohon yang berdiri kokoh di tempat itu. Angin sepoi-sepoi memainkan rambutnya, tempat itu cocok untuk peristirahatan para pengembara yang tersesat sepertinya. Tidak salah lagi, dia berada di bawah kaki bukit.
Memutuskan untuk menghilangkan lelah yang mengelayuti tubuhnya. Dia melemaskan persendiannya, melakukan olahraga ringan seperti kebiasaannya. Beruntung udara di tempat antah-berantah ini tidak terlalu dingin. Walau sedikit aneh, karena sebelum Tyaz tidak sadarkan diri, udara sangat dingin, suhunya mendekati minus.