Sreet!
Tombak itu meluncur semakin cepat, menukik tajam mendekati kepala Tyaz. Dia menyempatkan diri untuk menoleh ke belakang, matanya terbelalak lebar saat tompak itu berjarak kurang lebih satu meter dari kepalanya.
Kakinya semakin dia paksa untuk terus berlari dan berlari. Karena tidak begitu memerhatikan jalan, Tyaz tidak sengaja menginjak ranting kecil dan membuat keseimbangannya goyah, ia pun terpeleset. Tombak itu melesat melewatinya.
Tombak itu mengenai salah satu batu besar dan batu besar itu terbelah menjadi dua. Tyaz membelalakkan matanya, bagaimana kalau kepala Tyaz yang menggantikan posisi batu itu? Apakah kepalanya juga akan menjadi dua?
Tyaz segera berdiri, berlari, tidak ada waktu untuk istirahat. Pemuda itu berusaha menghindari orang-orang itu sebisa mungkin. Ia baru menyadari bahwa di depan sana ada sebuah hutan, tanpa pikir panjang, Tyaz segera berlari memasuki hutan itu.
Tyaz menghentikan langkahnya sejenak saat dia menolehkan kepalanya dan tidak menemukan orang-orang itu menyusulnya. Napasnya memburu, peluh membanjiri tubuhnya. Tyaz tampak menyedihkan, rambutnya acak-acakan, tubuhnya berkeringat seakan-akan dia tercebur sungai, dia sama sekali jauh dari kata keren.
Sejauh langkah kakinya masuk, terlihat hutan yang sangat rimbun dan gelap. Kanopi hutan itu sangat tebal dilihat dari intensitas cahaya yang berada di sekitar hutan. Sangat minim, sampai tidak berhasil menerobos kanopi hutan. Flora di sekitarnya juga terlihat seperti pada umumnya, kecuali bentuk pohon-pohonnya, dominan melengkung dengan bentuk-bentuk aneh.
Tyaz menghela napas sekali lagi, berperang dengan pikirnnya. Apa maksud orang-orang aneh itu dengan mengatakan bahwa Tyaz seorang pangeran? Jangan konyol, haruskah dia tegaskan sekali lagi, kisah pangeran dan kerajaan hanya ada di dongeng yang biasa Ibu Panti-nya ceritakan.
“Apakah mereka masih mengejarku?” gumamnya sembari mengedarkan pandangan.
Sejenak, hanya ada keheningan yang menyelimuti atmosfer hutan itu, tidak terdengar suara apa-apa kecuali suara daun bergesekan dan napas Tyaz yang memburu dan tidak teratur. Dia menyandarkan punggungnya di salah satu pohon.
Semua tenang, sampai tiba-tiba datanglah sebuah angin yang cukup kencang dari arah jarum jam sembilan beserta sebuah benda tajam yang menggores kakinya.
Benda tajam itu beberapa meter dari jaraknya Tyaz bersandar, ujungnya yang runcing menancap beberapa inci masuk ke dalam tanah.
“Arrggh!” Dia mengertakkan giginya, menahan sakit.
Tyaz memegangi kakinya, darah keluar dari sana, tombak itu membuat goresan yang cukup dalam hingga Tyaz rasa bisa melihat tulang kakinya jika saja cahaya mendukung. Dia segera beranjak, walau kesusahan dan terpincang-pincang, ia mempercepat langkahnya saat mendengar orang-orang aneh itu berseru-seru, langkah kaki mereka semakin mendekat.
“Bunuh dia!”
Demi nyawanya, Tyaz terus berlari, walau dengan langkah gontai. Dia yakin, pasti ada kesalahpahaman di sini. Dia hanya orang yang tersesat di tempat yang apapun itu namanya, lalu apa salahnya dia mencari orang untuk mempertanyakan di mana keberadaannnya dan mungkin saja orang itu tahu bagaimana caranya kembali. Hanya itu. Kenapa mereka agresif sekali terhadap pendatang baru?
Tyaz menemukan jalan buntu, di depannya ada sebuah gua yang gelap. Dan Tyaz tidak mau masuk ke dalam gua itu, selain karena dia fobia terhadap kegelapan, dia juga tidak mau ambil risiko yang bersangkutan dengan nyawanya. Bisa saja di dalam sana ada ular yang siap menerkamnya bulat-bulat, atau lebih parahnya ada si raja hutan dengan senang hati akan mencabik-cabik dagingnya.