Orang-orang memanggil gadis itu dengan nama Blue. Dia membaringkan tubuh Tyaz di atas rerumputan setelah berhasil membawanya keluar dari hutan.
Blue memeriksa kaki Tyaz, celana di bagian betis kanan pemuda berambut kelabu sedikit robek seperti sebuah benda tajam menggoresnya, juga terlihat darah yang merembes celananya. Blue menyingsing celana Tyaz sampai lutut.
Terlihat luka gores yang cukup parah di sana, kulitnya terkoyak hingga terlihat tulang keringnya, darah membanjiri betis kanannya. Blue mendesis, luka itu pasti menyakitkan dan membuatnya menderita.
Dia menyentuh luka itu, mengelusnya pelan. Blue mendekatkan wajahnya pada kaki Tyaz, meniup luka itu perlahan, lantas dia berkomat-kamit, meniup luka itu kembali. Senyumnya mengembang saat luka di kaki Tyaz perlahan menghilang. Tanpa bekas.
“Kau pasti sangat menderita, Tyaz. Aku tahu takdir berlaku tidak adil padamu.” Blue berucap pelan.
Dia beralih pada tangan Tyaz yang terluka. Blue mengelus pelan punggung tangan Tyaz, membuat cahaya biru berpedar di luka itu. Seperti tidak terjadi apa-apa, luka itu hilang tanpa meninggalkan bekas.
Blue memandang wajah Tyaz yang terpejam, terlihat manis seperti permen lolipop dan polos seperti anak kecil tanpa dosa. Membuatnya harus kembali mengingat seseorang yang telah lama menghilang, meninggalkannya sendirian. Blue sangat merindukan orang itu.
“Dia melakukan tugasnya dengan baik,” gumam Blue.
***
Tyaz terbatuk, dia merasakan ada sesuatu di tenggorokannya, memaksa keluar. Tyaz memutahkan cairan hangat dan asam. Rasanya tidak enak saat cairan itu tidak sengaja tersentuh lidahnya.
“Kau sudah sadar.” Suara itu menyambutnya pertama kali saat Tyaz masih berusaha mengumpulkan nyawanya yang tercecer di mana-mana.
Tyaz yang saat itu sudah dalam posisi duduk, menoleh ke sebelah. Mendapati seorang gadis yang berumur sekitar dua puluh tahunan, bibir kecilnya megulum senyum manis. Terlihat samar lesung pipit di pipi kanannya. Iris biru lautnya tampak indah dihiasi dengan bulu mata lentik yang mengerjab lucu, menilik Tyaz. Surai biru sepunggungnya tergerai bebas, tertiup angin. Baju biru dongkernya tampak kontras dengan warna kulitnya yang putih. Satu kata yang mewakili dirinya ... cantik.
“Biru,” Tyaz berucap pelan, tidak sadar akan apa yang dia ucapkan.
Blue sedikit tergelak. Nama panggilan khusus itu ..., batinnya.
Dia segera menggeleng-gelangkan kepalanya. Tidak mungkin dia mengingat semuanya, bukan?
“Siapa kau?” tanya Tyaz was-was saat dia sadar ada orang asing di sekitarnya.
Tyaz menyeret tubuhnya ke belakang, tangannya merabah sekitarnya, siapa tahu dia bisa menemukan batu untuk berjaga-jaga jika saja gadis itu berbuat jahat padanya.
Tyaz baru sadar kalau yang didudukinya adalah hamparan rumput yang luas. Dia juga baru tahu kalau ia sudah berada berada di luar hutan.
“Aku gadis yang berada di gua itu, apa kau tidak ingat, Tyaz?” Blue memastikan.
Tyaz menggaruk kepalanya, berpikir sejenak. “Ah! Aku baru ingat. Gadis dengan rambut biru itu.”
Dia mengangguk-angguk paham. “Siapa tadi namamu? Aku lupa. Maaf, aku sering melupakan banyak hal akhir-akhir ini.” Dia nyegir dengan polos.
“Aku Achilles Blue, panggil saja Blue.” Blue memperkenalkan dirinya.
“Tapi, bagaimana kautahu namaku?” Tyaz memperbaiki posisi duduknya.
Blue tampak kehilangan kata-kata, bingung mencari padanan kata yang tepat agar tidak salah kata menjawab pertanyaan Tyaz. “Aku tahu semua tentangmu.”
Tyaz hanya mengangguk, walau mulutnya gatal untuk bertanya ini-itu, tetapi karena tubuhnya yang masih lemah—juga belum makan dari pagi, ia memutuskan untuk tidak banyak bertanya dan lebih memilih menghemat energinya.
Tyaz memeriksa kakinya, tidak ada bekas goresan dalam di sana. Ia membelalakkan matanya. Lalu dia memeriksa tangannya, tidak ada bekas luka juga. Ini aneh.
“Apa kau yang telah mengobati lukaku, Blue? Terima kasih.” Blue mengangguk untuk menjawab. “Seingatku ..., setelah kau memeriksa leherku saat di gua, kau mengatakan tentang bius Suku Kegelapan, benda apa itu?”
“Benda itu berbentuk kecil seperti jarum, di dalamnya ada racun yang mematikan buatan Suku Kegelapan. Jika jarum itu ditusuk pada kulit seseorang, jarum itu perlahan akan masuk ke sel-sel tubuh korban dan menyebabkan kematian yang sangat mengenaskan,” jelas Blue panjang lebar.
Tyaz bergidik ngeri mendengar khasiat jarum kecil itu yang dapat menyebakan kematian. Dia melototkan matanya saat dirinya mengingat bahwa kulitnya pernah menjadi sasaran jarum itu.