“Pangeran Hydo Sirrius?”
Blue membeliakkan matanya. Tidak percaya. “Ba-bagaimana kautahu? Apa kau sudah ingat semuanya, Tyaz?”
Tyaz tidak tahu dirinya harus mengangguk atau menggeleng untuk merespons. Pasalnya, dia tidak tahu apa yang dimaksud penyihir itu, apa yang ia maksud dengan ingat semuanya? Tyaz tidak paham, jadi ia memutuskan untuk diam, tidak melakukan apa-apa.
Blue mendorong pintu besar istana. Suara pintu berderit terdengar, membuat ngilu telinga. Sepertinya pintu itu tidak dibuka selama bertahun-tahun. Blue melangkahkan kakinya pelan, Tyaz mengikuti tanpa banyak tanya, suara sepatu putihnya terdengar menggema seiring kakinya menginjak pualam istana.
Sunyi, gelap dan pengap. Tiga kata itu sudah cukup mewakili kondisi istana itu.
Blue mengangkat tangannya, cahaya berpedar di sekeliling telapak tangannya. Lilin-lilin menyala di sepanjang ruangan, membuat terang sekitar. Blue menurunkan tangannya kembali. Menoleh pada Tyaz yang melihatnya dengan mata berbinar.
Kenapa Tyaz tidak menjawab pertanyaannya?
“Kenapa kau diam saja? Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?” tanya Blue sembari melangkahkan kakinya menaiki anak tangga, Tyaz masih setia membuntuti Blue di belakangnya.
“Lapar.” Tyaz menyengir, menunjukan deretan gigi putihnya. “Aku akan menjawab pertanyaanmu jika kau memberiku makan.” Dia menyejajarkan langkahnya dengan Blue.
Blue tersenyum tipis. “Baiklah, sepertinya kau sangat kelaparan. Ikuti aku!”
***
Tyaz menyandarkan punggungnya di kursi setelah perutnya terisi kenyang. Walau bisa dibilang menu makanan di istana sedikit aneh, tapi jangan meragukan cita rasanya. Sangat enak. Kalau keadaannya memungkinkan, Tyaz ingin mempelajari resep makanan itu dan dia akan membuka restoran saat kembali ke bumi nanti.
Pemuda itu mengedarkan pandangannya, meja makan istana kosong, juga piring-piring yang kosong. Aneh rasanya, biasanya Tyaz makan dengan puluhan anak-anak panti di satu ruangan, lalu tiba-tiba dia makan sendirian di tempat yang begitu luas.
Sebelum Tyaz menyelesaikan makannya tadi, Blue pamit ke luar sebentar, katanya dia ada urusan penting. Tyaz mengangguk saja, tidak banyak tanya karena saat itu mulutnya penuh makanan. Blue bilang Tyaz boleh jalan-jalan di istana jika dia bosan, tetapi gadis itu tidak mengizinkan Tyaz keluar istana karena Suku Kegelapan mungkin saja bisa menemukan Tyaz.
Tyaz berdiri, melangkah ke sembarang arah sembari melihat-lihat interior istana. Saat kecil, Tyaz pernah bercita-cita menjadi pangeran di sebuah kerajaan besar dengan menaiki kuda putih. Tyaz tersenyum kecil mengingat masa lalunya, cita-citanya dulu sangat aneh.
Pemuda itu menghentikan langkahnya saat melihat salah satu ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Tyaz melangkah perlahan mendekati pintu, mendorong pelan pintu.
“Ah, hanya kamar biasa,” gumam Tyaz.
Kamar itu berantakan. Selimut yang tergeletak di bawah, bantal yang berserakan di ranjang, juga beberapa buku yang tergeletak di ranjang.
Tyaz hendak menutup kamar, tetapi matanya menangkap sebuah buku yang dirasanya pernah ia lihat. Tyaz memasuki kamar itu, duduk di tepi ranjang, mengambil buku bersampul putih dan hitam. Terpampang jelas di kovernya, judul yang dibuat kontras dengan warna latar belakang sampul. Black And White.
“Bukankah buku ini miliknya Kak Harro? Kenapa bisa ada di sini?”
Tyaz pernah melihat buku itu di kamar Myth, dan kata Myth buku itu milik kakaknya. Tyaz membuka halaman pertama, dia melototkan matanya saat melihat identitas pemilik buku itu, di sana terdapat tulisan Harro Mitchell yang dibubuhi tanda tangan.
Tyaz berpikir sejenak, bagaimana bisa buku yang awalnya berada di bumi sekarang berada di dimensi antah berantah ini? Buku itu tidak memiliki kaki, jadi Tyaz menyimpulkan bahwa seseorang pasti membawanya ke sini.
“Apakah Blue yang membawanya? Ataukah Kak Harro sendiri yang membawanya? Tapi kalau Blue sendiri yang membawanya, untuk apa buku pelajaran tentang mutiara itu? Lalu, kalau Kak Harro sendiri yang membawanya, bagaimana dia bisa ke sini?” Tyaz mondar-mandir sembari tangannya menimbang-nimbang buku Black And White.
Tyaz membuka buku itu lagi, dia membuka sembarang halaman. Kerutan di dahinya muncul, tulisan di dalam buku itu berbeda dari yang Tyaz lihat terakhir kali, dia membuka lembaran berikutnya. Kosong? Ke mana semua tulisan tentang mutiara itu?
Tyaz membaca tulisan yang dicetak dengan huruf tebal—yang merupakan satu-satunya kalimat yang ada di buku itu. “Tidak baik membaca milik orang, Soul Holy! Kau sudah mempunyai bukumu sendiri, Mutiara Putih, lihatlah buku itu di perpustakaan istana! Dia merindukan pemiliknya.”
“Siapa juga yang mau membaca buku begitu tebal?” gumam Tyaz kesal sembari meletakkan kembali buku di ranjang.
Tyaz keluar kamar, sembari pikirannya berputar-putar memikirkan maksud buku tadi.
“Soul Holy? Mutiara Putih? Heh, membingungkan.” Tyaz menghela napas.
Sebenarnya Tyaz ingin berdiam diri saja, tidak ke mana-mana, hanya bermalas-malasan dan tidur-tiduran di sofa istana—eh, Tyaz belum tahu apakah istana ini memiliki sofa. Namun karena tulisan dengan cetak tebal di buku tadi seperti menghantuinya, menyuruhnya menemukan perpustakaan istana.
Pada dasarnya, Tyaz bukan anak yang suka menghabiskan waktu di perpustakaan dengan buku-buku tebal, dia lebih menyukai berdiam diri di kelas sembari menonton film kesukaannya, atau tidur di kelas.
Tyaz melangkah ke lorong sebelah kanan, sebelum pergi tadi, Blue memberitahunya letak perpustakaan istana, sepertinya gadis itu sudah tahu kalau Tyaz akan membutuhkan perpustakaan.
Pemuda itu menjejakkan kakinya di perpustakaan, Tyaz terkejut, tidak seperti bayangannya kalau perpustakaan itu dipenuhi rak dengan buku-buku yang tidak tertata rapi, juga meja-meja dan kursi. Namun pemandangan perpustakaan istana berbeda, suasana dan interiornya seperti sebuah kafe di bumi, langit-langit perpustakaan dibuat seperti langit malam, gugusan bintang-bintang dan bulan menghiasi langit-langit, bahkan terdapat lukisan planet-planet dalam tata surya.
Tyaz tidak bisa menutup mulutnya karena terpukau. “Wah, aku seperti berada di observatorium.”
Tyaz duduk di salah satu kursi, di sana ada sebuah buku. Tyaz menelengkan kepala lantas mengambil buku itu.
“White And Black.” Tyaz membaca judul buku itu. “Buku ini mirip dengan buku yang ada di kamar itu.”
Tyaz membuka halaman buku pertama, matanya terbelalak. “Sejak kapan tulisan dan tanda tanganku ada di sini?”
Tyaz mengedikkan bahu, dia mengambil napas dalam. “Di sini memang banyak keanehan, di sini sihir itu nyata, jangan terlalu memikirkan terlalu rasional, Tyaz. Nanti kau bisa gila.”
Tyaz membuka halaman selanjutnya, di sana tertulis dengan cetak tebal. “Selamat datang, Tuan Soul Holy, Mutiara Putih, lama tidak bertemu.”
“Soul Holy itu apa sih? Sebentar ... berasal dari bahasa Inggris.” Tyaz mengetuk-ngetuk kepalanya, dia benar-benar payah dalam mengartikan.