Tyaz Gamma

Varenyni
Chapter #17

Part 16 - King and Queen

“A-apa maksudmu? K-kau ... menginginkan nyawaku? Kau ... ingin membunuhku seperti mereka yang ada di hutan dan orang-orang suku itu?” tanya Tyaz, pupil matanya bergetar, isyarat akan ketakutan.       

Kakinya bahkan tidak sanggup menopang tubuhnya lagi untuk bangkit, alhasil dia jatuh berlutut di pualam perpustakaan istana. Pandangannya menatap kosong iris biru laut Blue.

Kesialan apa lagi yang harus dihadapinya? Kenapa semua orang yang ditemuinya ingin membunuhnya? Apa salahnya jika Tyaz hidup? Apakah dunia akan mengalami kehancuran jika ia hidup? Apakah keseimbangan alam ini akan goyah jika ia tetap hidup?

Blue terdiam selama beberapa detik karena melihat ketakutan dari pemuda itu, lantas dia tertawa melihat ekspresi Tyaz yang begitu serius—menatapnya dengan pandangan kosong. Pandangan itu sama persis seperti pandangan yang diberikan Pangeran Hydo kalau dia mendapat berita buruk. “Bukan. Bukan begitu, aku belum menyelesaikan kalimatku.”

“Hah?” Tyaz mengangkat alisnya.

Blue tersenyum kecil, dia mengulurkan tangannya dan membantu Tyaz berdiri.

Tyaz duduk kembali di kursi, menghela napas lega, bersyukur dalam hati karena Blue bukanlah orang jahat yang akan membunuhnya.

Tyaz menyandarkan punggungnya di kursi, mencoba rileks, mencoba melupakan kejadian memalukan yang ia lakukan di depan seorang wanita—bertekuk lutut dengan perasaan takut. Ia benar-benar memalukan.

Pemuda itu menilik Blue yang duduk di depannya, sepertinya gadis itu masih menyusun frasa-frasa di otaknya agar Tyaz tidak salah penafsiran.

“Kau harus menyerahkan setengah jiwamu yang telah kaupinjam darinya,” ujar penyihir itu.

“Hah? Aku ... meminjam jiwa?” Kali ini Tyaz lebih terkejut dengan ucapan Blue—lebih tepatnya tidak sepenuhnya mengerti.

***

Tyaz berjalan-jalan di sekitar koridor istana, sekadar menghilangkan bosan. Dia sudah mendapatkan izin dari Blue untuk melihat-lihat istana jika ia bosan. Blue pergi entah ke mana, dia bilang ada urusan penting di suatu tempat. Selalu saja begitu, jika Blue sedang ada urusan, maka Tyaz baru diperbolehkan jalan-jalan keliling istana.

Keadaan istana masih sama seperti sebelumnya. Sunyi dan sepi. Interior dari guci dengan lukisan manusia—entah siapa itu—yang terlihat di sepanjang lorong. Lukisan-lukisan terbaik dari seniman negeri Kegelapan tertempel di dinding-dinding.

Tyaz berbelok di lorong kiri, ia menemukan sebuah pintu yang menarik perhatiannya. Tangannya mendorong pintu itu perlahan, kakinya membawanya masuk semakin dalam ke ruangan itu.

Ruang penyimpanan senjata. Dengan cepat Tyaz menyimpulkan setelah melihat banyak persenjataan di sana. Pedang berbagai ukuran berada di dalam kaca dan ditempelkan di dinding, mungkin pedang itu memiliki sejarah yang penting bagi negeri ini. Terlihat juga anak panah dan beberapa tombak yang dipakai Suku Kegelapan untuk menyerangnya tadi pagi.

“Pasti Raja dan Ratu suka seni dan sangat menjaga warisan leluhurnya,” gumam Tyaz saat melihat pedang kecil berlumuran darah yang telah mengering berada di dalam kaca seperti di museum tempat tinggalnya.

“Benda aneh apa ini.” Tyaz menilik benda semacam lidi yang terbuat dari besi, berdiri sendiri seperti melayang padahal benda itu tidak ditanam atau disematkan oleh benda-benda lain.

Ada beberapa kalimat dengan aksara aneh yang berada di sekitar lidi itu, seperti memperingatkan. Sayangnya Tyaz tidak bisa membaca huruf aneh itu. Tangannya terulur untuk menyentuh benda itu.

Tyaz merasakan aliran listrik mengalir dari tangannya setelah menyentuh benda itu.

“Astaga, lidi itu berbahaya, mengeluarkan petir.” Tyaz segera menjauhkan tangannya dari lidi itu.

Sekarang dia mengerti, pasti kalimat di sekitar lidi itu berisi peringatan yang kira-kira seperti ini ‘Jangan disentuh! Berbahaya! Bisa menimbulkan kejut listrik!’.

Pemuda itu mengibas-ngibaskan tangannya, sesekali meniup jemarinya yang terkena sengatan listrik. Ekor matanya melihat pintu lain, ia baru sadar ada pintu lain di sana.

Laju gerak kakinya membawa Tyaz mendekati pintu itu. Penasaran, dia membuka pintu itu. Terdengar berderit pelan.

Ruangan dengan penerangan temaram itu terlihat menenangkan, luasnya tidak lebih besar dari ruang senjata, mungkin hanya setengahnya. Tyaz menelusuri ruangan itu, memperhatikan benda-benda di dalamnya, ruangan itu didominasi oleh lukisan-lukisan yang tertempel di dinding, baik yang berukuran besar, kecil, atau sedang.

Lihat selengkapnya