Tyaz rasa kepalanya akan meledak saat ini juga. Dia sekarang tahu, ada hal lain yang bisa membuat kepalanya mau meledak selain pelajaran fisika dan kimia, yaitu urusan jiwa-jiwa itu. Urusan yang sama sekali tidak masuk di akal. Bisa dibilang urusan gila.
“Kesimpulannya ... aku pernah ke sini, lalu entah ke mana setengah jiwaku itu menghilang, lalu Pangeran meminjamkan setengah jiwanya untuk keberlangsungan hidupku. Dan sekarang kau memintaku untuk mengembalikannya, begitu?” Tyaz menyimpulkan semua kejadian tidak masuk akal itu.
Blue mengangguk, dia menyesap teh yang dibuatnya beberapa menit lalu. Gadis itu meletakkan cangkir putih di meja makan. Melirik sekilas wajah Tyaz yang kusut.
Tyaz tertawa, tidak benar-benar tulus.
“Lelucon apa ini? Tak kusangka selera humormu juga tinggi seperti Myth.” Dia melirik sinis Blue. “Apa kau tidak sengaja tertelan biji semangka, Blue? Bicaramu aneh sekali. Setengah jiwa tertukar atau apalah itu. Sama sekali tidak masuk akal.”
“Kau boleh menganggap semua ini gila, Tyaz. Tapi sesuatu yang kau anggap mustahil di duniamu, semua bisa terjadi di sini.” Blue mengambil cangkirnya lagi.
“Mungkin kau butuh contoh yang masuk akal. Apa selama ini kau merasa bukan menjadi dirimu sendiri? Maksudku, seperti perubahan kebiasaanmu, sifatmu. Bukankah kau merasakannya selama ini sejak kostum itu tiba-tiba melekat di tubuhmu tiga tahun lalu?” Gadis itu melipat tangannya di depan dada setelah meletakkan cangkir itu kembali.
Semua yang dia katakan benar. Bagaimana dia bisa tahu semuanya? batin Tyaz bertnya-tanya.
“Bagaimana aku bisa tahu? Aku tahu semuanya tentangmu, Tyaz. Mungkin kau tidak tahu, selama ini aku mengawasimu di duniamu.” Blue menyunggingkan senyuman.
“Kau ... selama ini mengawasiku? Kenapa?” Tyaz menyeret kursinya, mendekat ke arah Blue.
Blue menggeleng. “Aku tidak bisa memberi tahumu sekarang.”
Tyaz mendengus kesal. "Jawabanmu selalu itu."
***
“Bagaimana caraku untuk membantumu?” Tyaz bertanya.
Tyaz benar-benar bosan, selain karena hal-hal aneh yang sama sekali tidak masuk akal secara teori, gadis itu tidak pernah menjelaskan secara gamblang jika Tyaz bertanya, ia selalu menjawab penuh dengan teka-teki. Mungkin Tyaz harus mengatakan pada penyihir itu, dia bukan seorang detektif yang bisa memecahkan teka-teki ataupun seorang penyihir yang bisa membaca pikiran.
“Pertanyaan yang bagus.” Dia meletakkan ranting kayu yang tadi disihirnya agar bisa melayang-layang.
“Pertama, kau harus mengembalikan setengah jiwa Pangeran Hydo,” lanjut Blue kemudian.
Tyaz hanya mengangguk. “Bagaimana caranya? Selama aku sekolah sebelas tahun, guru-guruku tidak pernah mengajarkan hal itu.”
Saat membicarakan sekolah, Tyaz tiba-tiba teringat bahwa minggu depan adalah jadwalnya untuk ulangan fisika. Dia berharap agar bisa secepatnya kembali ke dunianya, agar tidak ketinggalan ulangan fisika—juga tidak ketinggalan nyontek berjamaah.
“Aku akan membantumu, kalau aku menjelaskannya satu-satu, kau tidak akan paham. Cukup ikuti apa kataku, oke?” Blue memastikan.
“Oke, aku akan bertanya sekali lagi. Di mana pangeran? Jangan membuatku bertanya untuk ketiga kalinya.” Tyaz mendengus kesal.
“Dia berada di tempat yang aman.” Lagi-lagi, Blue tidak pernah memberikan Tyaz jawaban yang jelas, selalu berbelit-belit.