Tyaz Gamma

Varenyni
Chapter #19

Part 18 - The First Meeting

“Bagaimana bisa wajahku sangat mirip dengan Pangeran Hydo?” tanya Tyaz saat mereka kembali ke istana.

“Jika kau perhatikan lagi, Tyaz, wajah kalian tidak mirip. Memang di kehidupan sebelumnya kalian adalah saudara kembar tak seiras, tapi di kehidupan ini berbeda. Asal kau tahu, salah satu kekuatan Pangeran Hydo adalah menirukan wajah seseorang, dan kebetulan terakhir kali dia menggunakan wajahmu sebelum tidak sadarkan diri,” jawab Blue panjang lebar, tetapi dari suaranya dia terdengar marah.

“Maafkan aku, sepertinya gara-gara memakai wajahku kau jadi tidak bisa melihat wajah Pangeran Hydo."

Blue menoleh pada Tyaz, wajahnya tampak tidak bersahabat.

"Dari pandanganmu, aku tahu kau menyukai Pangeran Hydo," lanjut Tyaz.

"Diam, Tyaz!" bentak Blue.

Tyaz terdiam, baru pertama kali dia dibentak oleh orang yang selama ini sabar menghadapinya. Entah mengapa Tyaz merasakan hatinya sakit. Tyaz menggepalkan tangan, perasaan semacam ini kenapa harus muncul lagi?

Pemuda itu menundukkan kepala. "Maafkan aku."

Blue mengembuskan napas. “Ini sudah malam, sebaiknya kau tidur dulu. Kita lanjutkan pembicaraannya besok saja. Kau bisa menggunakan kamar pangeran untuk sementara.”

Tyaz mengangguk, dia juga sangat lelah. Lelah badan, lelah hati dan pikiran. Otak dan tubuhnya juga membutuhkan isirahat.

“Aku akan mengantarmu ke kamar pangeran.”

***

Tyaz masih setengah sadar saat Blue pagi-pagi sudah membanggunkannya, dia mengatakan ada hal penting yang akan disampaikan pada Tyaz.

“Tyaz dengarkan baik-baik apa yang akan kukatakan,” ujar Blue.

“Hm,” gumam Tyaz sembari mengangguk, matanya belum sepenuhnya terbuka.

“Aku pernah bilang kepadamu, kalau kau pernah ke sini sebelumnya, dan kejadian itu terjadi tiga tahun lalu. Saat itu aku menyegel ingatanmu untuk keseimbangan dunia ini sebelum kau kembali ke Bumi, dan suatu saat ingatanmu akan kembali, karena aku tidak bisa menahan sihir dari jiwa pangeran di dalam tubuhmu yang terus memaksa agat ingatan itu muncul. Sihirnya terlalu kuat,” ujar Blue panjang lebar.

“Aku ingin secepatnya dapat mengingat,” ucap Tyaz, matanya sudah sepenuhnya terbuka karena topik yang dibahas Blue cukup seru, dan yang terbaik ialah Tyaz tidak perlu bersusah payah untuk membujuk gadis itu agar menceritakan apa yang terjadi dengan dirinya di masa lalu.

“Aku dapat membantumu. Walau cukup sulit, karena aku hanya memiliki sihir membuat atau melakukan, tidak bisa memperbaiki.” Blue memandang ke luar jendela kamar.

“Tidak apa-apa lakukanlah sekarang.” Tyaz tersenyum tulus walau tidak sepenuhnya paham sihir apa yang dimaksud Blue.

Senyum anak itu masih sama saat Blue melihatnya untuk pertama kali beberapa tahun silam. Tidak berubah, masih sangat tulus dan begitu polos.

“Baik. Aku akan memberimu sihir agar kau tertidur, tapi aku tidak tahu berapa lama kau bisa tertidur, entah beberapa hari atau—”

Tyaz memotong ucapan Blue cepat. “Atau selamanya, karena kau hanya bisa membuat orang tertidur dan tidak bisa membangunkannya.”

Blue mengangguk. “Ya, orang itu harus bisa membuat dirinya sendiri terbangun. Dan cara ini kulakukan agar segel ingatanmu cepat terbuka di bawah alam sadarmu. Apa kau sudah siap?”

“Siap. Apapun yang terjadi, aku harus menerima risikonya. Kalaupun nantinya aku tidak bisa terbangun lagi, tidak masalah. Aku hanya ingin kau menyampaikan pesan pada temanku Myth bahwa aku menyayanginya dan aku meminta maaf karena selama ini mengganggunya, juga pada ketiga teman sekelasku, aku meminta maaf karena tidak pamit,” Tyaz berkata mantap.

“Apakah ini semacam kata-kata terakhir?” tanya Blue sembari mengangkat alisnya.

Tyaz mengangguk polos disertai cengiran kekanak-kanakan yang entah kenapa membuat hati Blue damai.

“Aku yakin pasti berhasil, jangan membuat keyakinanku semakin kecil, Tyaz!” Blue memasang wajah emberut.

“Baiklah.” Tyaz mengangguk patuh.

“Sekarang kau berbaringlah dan tutup matamu.”

Tyaz menurut, dia berbaring di ranjang dan memejamkan matanya segera.

Blue tersenyum tipis, dia berjalan mendekati Tyaz. Tangannya menyentuh kening Tyaz sembari merapalkan mantra, cahaya berpedar di sekitar jemarinya. Tangan gadis itu lantas beralih menyentuh kelopak mata Tyaz. Anak itu sudah jatuh tertidur, alam bawah sadarnya menyedotnya dengan paksa.

Gadis itu mengambil selimut, menyelimuti tubuh Tyaz sampai dada. Berjalan keluar dari kamar Hydo, menutup pelan kamar itu.

“Semoga kau siap dengan ingatan menyakitkan itu Tyaz. Mengingat dirimu yang hampir mati berkali-kali. Aku harap kau siap.”

***

Tiga tahun lalu, saat Tyaz berada di hutan untuk mengantarkan Tessa pulang ke rumahnya.

“TESSA!”

Tangan Tyaz mencabik-cabik udara—tempat di mana Tessa menghilang setelah sebuah pedang menusuknya, ia berusaha menangkap butiran debu yang perlahan terbang—berharap gadis itu bisa kembali, seiring menghilangnya jasad Tessa.

Tyaz menjerit kalut, tangannya terkepal kuat. Hatinya terasa panas, dadanya terasa sesak, ingin rasanya ia menangis. Cairan bening memenuhi pelupuk mata Tyaz yang terasa panas, tanpa kedipan, air mata itu jatuh, tumpah ruah. Tidak memedulikan para pria yang sedang menyusun strategi jitu untuk menghabisi mangsanya.

Di saat Tyaz masih merasa sedih, saat dia lengah. Ketua Xexe menyeringai, menemukan cara brilian untuk menghabisi pemuda yang masih berduka itu. Ketua Xexe membisikkan sesuatu pada si Hoodie, lantas dia mengangguk-angguk paham.

Lihat selengkapnya